Mohon tunggu...
Novia Eka
Novia Eka Mohon Tunggu... lainnya -

tidak terlalu suka berbicara yang tak perlu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Berbahasa Inggris untuk Hidup yang Lebih Baik?

21 Juni 2012   22:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio


Bukan penguasaan terhadap bahasa Inggris yang bisa membuat Indonesia maju. Percaya atau tidak, saya sudah membuktikannya melalui pengalaman saya 2 tahun lalu ketika masih berstatus sebagai mahasiswi di suatu kampus negeri.


Kampus saya termasuk yang mewajibkan mata kuliah khusus untuk mengabdi pada masyarakat. Setiap mahasiswa harus tinggal selama 2 bulan penuh di lokasi lokasi tertentu, dan biasanya penempatannya adalah daerah-daerah terpencil dan tertinggal di seluruh Indonesia. Saya dan 20 rekan sesama mahasiswa dari berbagai jurusan pun ditempatkan di suatu desa kecil di pantai selatan pulau Jawa. Di sana kami melakukan pengabdian sekaligus belajar mengaplikasikan ilmu secara langsung kepada masyarakat.


Namanya juga mahasiswa jaman sekarang yang terbiasa hidup individual dan terbiasa dengan kehidupan kota, kami pun bingung harus melakukan apa. Apalagi kami tidak berhasil mendapatkan bantuan dana dari pihak kampus maupun sponsor. Walhasil kami hanya bisa membuat program-program kecil yang tidak membutuhkan dana besar.


Salah satu program kami adalah melakukan survey penggunaan jamban (toilet) pada masyarakat. Dari hasil survey, ternyata lebih dari 50 % penduduk desa tidak memiliki jamban. Kalaupun ada biasanya itu adalah jamban hasil sumbangan dari donatur atau pemerintah setempat. Terkadang hanya ada satu jamban untuk 3 rumah yang berdekatan. Kondisinya pun sudah tidak terawat sehingga kami pun mengambil kesimpulan bahwa jamban itu tidak pernah dipakai.


Melihat kondisi yang demikian, saya bersama rekan saya pun mencoba untuk mengadakan penyuluhan mengenai pentingnya memiliki dan menggunakan jamban yang bersih. Segala persiapan pun dilakukan dan kami pun berencana mengadakan dua kali penyuluhan.


Penyuluhan yang pertama ditujukan bagi perkumpulan ibu-ibu PKK, sedangkan yang kedua dilakukan langsung dari
rumah ke rumah. Tidak ada masalah dalam penyuluhan yang pertama, karena sebagian besar yang ikut perkumpulan adalah ibu-ibu yang sekolahnya tamat SMP dan SMA. Selain itu juga dihadiri oleh ibu Lurah, Ibu ketua RT, guru, dan bidan desa. Mereka semua mampu merespon presentasi dan diskusi yang kami berikan.


Masalah mulai muncul ketika kami melakukan penyuluhan langsung dari rumah ke rumah. Target rumah yang akan kami datangi adalah rumah-rumah yang lokasinya jauh dari pusat desa.

Berdasarkan data yang kami punya dari kelurahan, sedikit sekali warga di daerah itu yang pendidikannya tamat hingga SMP. Kaum wanitanya banyak yang hanya lulusan SD dan bahkan tidak tamat sama sekali. Kami pun beraksi sesuai rencana, masuk ke rumah-rumah dan berbincang-bincang dengan pemilik rumah. Semula kami pikir akan mudah karena penyuluhan dengan cara berbincang-bincang ringan biasanya lebih mudah diterima. Tapi ternyata kami tidak mempertimbangkan satu hal. Ya, anggota tim kami tidak ada yang bisa berbahasa daerah setempat. Padahal warga yang menjadi target kami hampir 90 % hanya menggunakan bahasa daerah dalam kesehariannya. Bagaimana bisa kami memberi pemahaman mengenai jamban sementara untuk ngobrol saja kami memakai bahasa tarzan? Kami pun mencoba memakai penduduk desa sebagai penerjemah, tapi hasilnya tidak begitu memuaskan. Pada akhirnya, kami pun hanya bisa berbicara dalam bahasa Indonesia, menyampaikan bahwa kalau buang air sebaiknya di jamban, dan berlalu tanpa bisa menyimpulkan apakah orang yang kami ajak bicara mengerti atau tidak.


Pengalaman saya bersama teman-teman saya itu sedikit banyak membuktikan bahwa memiliki nilai ujian yang tinggi, telah membaca beratus-ratus buku ilmiah berbahasa Inggris, maupun pengalaman sering ikut lomba-lomba ilmiah, bisa menjadi tidak berguna bila tidak mampu menyampaikan dan mengaplikasikannya pada masyarakat. Apalah gunanya mahir berbahasa Inggris, namun tidak bisa memberi sumbangan bagi kemajuan masyarakat Indonesia?

Penulis : Alumni Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun