Mohon tunggu...
Novendra Cahyo N.
Novendra Cahyo N. Mohon Tunggu... Lainnya - Numpang kerja di Halmahera

Belajar menyampaikan gagasan melalui tulisan. Twitter: @fendra_novendra Email: novendracn11@gmail.com Website: novendracn.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Penyuluhan Pertanian untuk Mewujudkan Petani yang Lebih Sejahtera

31 Maret 2014   16:45 Diperbarui: 4 April 2017   17:47 4677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanian merupakan salah satu pilar pembangunan suatu bangsa dan melalui pertanian kebutuhan pangan akan tercukupi. Presiden Soekarno ketika meletakkan batu pertama pembangunan kampus IPB pada tahun 1952 mengingatkan bahwa persoalan persediaan pangan bagi bangsa Indonesia merupakan “soal hidup atau mati”.  Jawaharial Nehru pun pernah mengatakan,“Everything can wait, not agriculture. First of all, obviously, we must have enough food. Secondly, other necessities … “. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap individu dan dengan terpenuhinya pangan secara kuantitas dan kualitas untuk setiap individu maka dipastikan akan menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketersediaan pangan merupakan salah satu kunci dalam mencapai Target Pembangunan Milenium 2015 (Millenium Development Goals-MDGs) dalam hal mengurangi kelaparan.

Keberhasilan di bidang pertanian tak lepas dari dukungan para penyuluh pertanian. Penyuluh pertanian merupakan ujung tombak dalam pembangunan dan pengembangan sektor pertanian untuk mencapai cita-cita luhur founding father bangsa ini, yaitu kedaulatan pangan –bukan sekedar swasembada atau ketahanan pangan saja.

A.Penyuluhan Pertanian di Era Desentralisasi

Salah satu isu utama dalam penyuluhan adalah desentralisasi. Searah dengan semangat desentralisasi, kebijakan nasional yang tertuang dalam UU No. 22/1999 yang direvisi dengan UU No. 32/2004 telah memberikan ruang gerak desentralisasi melalui kebijakan ”otonomi daerah”. Desentralisasi dipandang penting karena membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat sipil dalam memantau kebijakan pemerintah (Subejo, 2006).  Kewenangan di bidang penyuluhan pertanian sejak tahun 2001 dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Melalui otonomi daerah diharapkan terjadi peningkatkan kinerja penyuluhan pertanian. Terkait dengan hal tersebut, Saragih cit Subejo (2006) berpendapat bahwa dengan adanya otonomi daerah, telah diberikan kebebasan kepada regional agricultural services untuk mengambil inisiatif dalam mendesain kebijakan spesifik lokasi, sementara itu pemerintah pusat melalui Menteri Pertanian bertanggungjawab hanya pada penyusunan dan manajemen strategi, kebijakan nasional dan standar-standar. Dengan otonomi daerah ini, tanggung jawab pembangunan pertanian dalam kendali kepala daerah bukan lagi pegawai/dinas pertanian.

Montemayor (2000) mengatakan desentralisasi seharusnya memberikan keuntungan berupa kemajuan pada : (1) tingkat partisipasi petani dalam hal kemampuan menaksir masalah yang dihadapinya, mengidentifikasi solusi dari masalah yang ada, dan memulai serta mendukung aksi (2) kapasitas pemerintah daerah, yaitu dengan meningkatnya kapasitas dalam kepercayaan diri merespons permasalahan nyata tanpa tergantung pada bantuan luar serta meningkatkan kapasitas mengenai kecepatan merespon masalah dengan cepat tanpa harus menunggu izin dari pemerintah pusat. Dua hal ini lah yang hasil akhirnya terjadi peningkatan kualitas dari hidup petani.

Pelaksanaan penyuluhan pertanian melalui kebijakan otonomi daerah juga ada beberapa kendala atau dampak negatifnya. Bagi daerah yang kepala daerah dan politisi lokalnya memiliki perhatian besar pada pembangunan pertanian maka pembangunan dan penyuluhan pertanian akan berkembang. Namun sebaliknya,  cukup banyak kepala daerah dan politisi lokal yang tidak memandang penting pembangunan pertanian, akibatnya kedudukan penyuluhan pertanian menjadi tidak jelas bahkan banyak yang dibubarkan atau alih tugas, mereka lebih perhatian terhadap sektor yang relatif cepat menyumbang kontibusi nyata bagi pendapatan daerah. Mawardi (2004) mengidentifikasi kendala yang dihadapi oleh penyuluhan pertanian era otonomi daerah: (1) adanya perbedaan pandangan antara pemerintah daerah dan anggota DPRD dalam memahami penyuluhan pertanian dan perannya dalam pembangunan pertanian, (2) kecilnya alokasi anggaran pemerintah daerah untuk kegiatan penyuluhan pertanian, (3) ketersediaan dan dukungan informasi pertanian sangat terbatas, (4) makin merosotnya kemampuan manajerial penyuluh.

Penelitian World Bank cit Subejo (2006) di beberapa pedesaan Indonesia melaporkan persepsi petani dengan kepemilikan modal kecil merasa telah ditinggalkan oleh pihak yang berkompeten dalam pertanian. Sekitar tahun 1980-an ketika sedang digiatkan usaha untuk peningkatan produksi padi secara nasional, penyuluh pertanian datang ke dusun secara periodik dan memberi anjuran terkait dengan kebutuhan petani. Namun saat ini penyuluh jarang berkunjung ke dusun tersebut. Petani merasa bahwa petugas pertanian tidak lagi membantunya dalam menemukan penyelesaian masalah-masalah yang muncul secara praktis. Sehingga wajar penyuluh kurang mendapatkan tempat di hati petani, dan petani pun cenderung melaksanakan usaha taninya secara sendiri.

B.Penyuluhan Pertanian dalam Paradigma Pembangunan Pertanian

Era revolusi hijau pembangunan pertanian cenderung berorientasi pada produksi, melalui program bimas  pun para penyuluh bahu membahu dengan petani dalam penyediaan pangan, terutama beras yang artinya adanya kecenderungan terhadap satu komoditas yaitu padi (monovalen). Komponen yang terpenting dari bimas padi itu adalah tersedianya teknologi budidaya padi, penyuluhan yang intensif, dan tersedianya sarana produksi seperti bibit unggul, pupuk dan pestisida. Proyek ini terus berlanjut sampai puncaknya pada tahun 1984, yaitu pada saat Indonesia memperoleh penghargaan dari PBB karena berhasil berswasembada beras.

Saptana dan Ashari (2007) menyebutkan karena pembangunan waktu itu cenderung bias pada pemacuan pertumbuhan produksi maka menimbulkan dampak negatif terhadap ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Sebagai gambaran, sektor pertanian yang bertumpu pada potensi sumber daya alam banyak mengalami pengurasan sehingga ketersediaan dan penurunan kualitas sumber daya alam. Akibatnya, kondisi pertanian nasional masih dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain: 1) menurunnya kesuburan dan produktivitas lahan, 2) berkurangnya daya dukung lingkungan, 3) meningkatnya konversi lahan pertanian produktif, 4) meluasnya lahan kritis, 5) meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan, 6) menurunnya nilai tukar, penghasilan dan kesejahteraan petani, 7) meningkatnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran di pedesaan, dan 8) terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat.

Keberhasilan dalam peningkatan produksi beras itu pun membawa malapetaka bagi penyuluhan pertanian, karena secara tidak disadari banyak orang mempersepsikan bahwa penyuluhan pertanian itu adalah alat untuk meningkatkan produksi seperti halnya pupuk dan insektisida. Dengan kata lain  penyuluhan pertanian dipersepsikan sebagai usaha yang bertujuan untuk meningkatkan produksi, dan bukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, sebagaimana tujuan awal dari penyuluhan. Dalam kegiatan ini penyuluh dominan sebagai agen transfer teknologi.

Kesalahan dalam mempersepsikan konsep penyuluhan pertanian tersebut, yaitu penyuluhan yang tidak secara nyata-nyata bertujuan meningkatkan kesejahteraan petani, tidak akan tahan lama (sustainable), dan itu terbukti dalam beberapa tahun terakhir ini. Tanggapan petani terhadap usaha-usaha penyuluhan terus merosot. Apalagi kalau penyuluhan itu juga tidak memperkenalkan teknologi baru. Teknologi yang tidak berdampak menguntungkan bagi petani juga tidak akan laku (Slamet, 2006). Apalagi ditambah kenyataan di lapangan bahwa petani belum merasakan eksistensi dari petugas penyuluh.

Sejalan dengan perkembangan zaman paradigma pembanguan pertanian pun berubah dengan tidak lagi berorientasi produksi tetapi menjadi suatu sistem yang berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam serta perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa untuk menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO cit Saptana, 2007).

Secara singkat tujuan keseluruhan dari pertanian berkelanjutan (Searca, 1995) adalah untuk meningkatkan kualitas hidup. Hal ini dicapai melalui: pembangunan ekonomi, memprioritaskan keamanan pangan, menempatkan nilai tinggi pada pengembangan dan pemenuhan sumber daya manusia, menekankan kemandirian, pemberdayaan dan pembebasan petani, memastikan lingkungan yang stabil (aman, bersih, seimbang, renewable), dan berfokus pada tujuan jangka panjang produktivitas.

Sejalan dengan perubahan paradigma yang berorientasi pada sustainable, maka kriteria pertanian berkelanjutan terdiri (Searca, 1995):

1.Ekonomis

Sistem pertanian ekonomis memiliki pengembalian yang wajar atas investasi tenaga kerja dan biaya yang terlibat dan memastikan mata pencaharian yang layak bagi keluarga petani. Paling tidak sistem harus menyediakan makanan dan kebutuhan dasar lain bagi keluarga petani. Kelayakan ekonomi juga berarti biaya efisien.

2.Ramah lingkungan

Sistem pertanian ekologis  yang terintegrasi ke dalam sistem ekologi yang lebih luas dan fokusnya adalah pada pemeliharaan dan peningkatan basis sumber daya alam. Hal ini juga berorientasi keanekaragaman hayati. Praktek yang menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan dihindari.

3.Berkeadilan sosial

Sistem pertanian menghormati martabat dan hak-hak individu dan kelompok dan memperlakukan mereka dengan adil. Sistem ini memungkinkan akses ke informasi, pasar, dan sumber daya pertanian lainnya saling berhubungan, terutama tanah. Akses yang sama disediakan untuk semua terlepas dari gender, status sosial, agama, dan etnis.

4.Menyesuaikan budaya

Sistem pertanian yang sesuai dengan budaya memberikan pertimbangan karena nilai-nilai budaya, termasuk keyakinan agama dan tradisi dalam program, pengembangan sistem pertanian. Sistem pengetahuan dan visi dari petani yang dianggap mitra dalam proses pembangunan.

Empat kriteria pertanian berkelanjutan tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi pelaksanaan dari penyuluhan, sehingga nantinya kegiatan penyuluhan mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.

13962343511143809139
13962343511143809139

C.Era Baru Penyuluhan  (Perspektif FAO dan UU SP3K)

Penyuluhan pertanian sekarang ini semakin beragam, tidak hanya masalah produksi pertanian, tetapi juga terkait pemasaran dan juga adanya aturan yang membatasi petani. Penyuluhan pertanian merupakan mekanisme penting untuk menyampaikan informasi dan petujuk serta masukan dalam pertanian modern, bahkan beberapa pertani harus membayar untuk mendapatkan pelayanan terkait penyuluhan pertanian (misalnya konsultasi).

Swanson et al (1997) menyatakan bahwa kebutuhan informasi pertanian dan jasa konsultasi dalam masa mendatang akan lebih intensif dibutuhkan oleh petani, karena di sebagian besar dunia, pertanian menghadapi tantangan sejalan dengan cepat meningkatkan populasi dengan beberapa cadangan lahan yang berpotensi ditanami. Petani harus menjadi lebih efisien dan efektif dalam usaha taninya. Dari perspektif pemerintah, prioritas apa yang diberikan untuk produksi, penyuluhan tetap menjadi sebuah alat kebijakan utama untuk mempromosikan ekologis dan sosial praktek-praktek pertanian berkelanjutan. Beberapa perkembangan terakhir yang paling menjanjikan dalam metodologi penyuluhan telah terjadi di mana agenda utama adalah lingkungan. Selain itu penyuluh tidak lagi dilihat sebagai ahli yang memiliki semua informasi yang berguna dan solusi teknis, tetapi petani sendiri ternyata juga memiliki pengetahuan dan kecerdikan, secara individu dan kolektif. (Garforth cit Swanson, 1997) menyatakan bahwa kedepannya penyuluh membutuhkan keahlian baru dari negosiasi, resolusi konflik, dan memelihara organisasi masyarakat muncul.

Sistem penyuluhan yang dikembangkan oleh FAO juga menekankan bahwa penyuluhan haruslah berkelanjutan, berkelanjutan yang mempunyai empat ruang lingkup yang terdiri dari : (1) kelayakan teknis, (2) kelayakan ekonomi, (3) penerimaan sosial, dan (4) keamanan lingkungan.  FAO dalam bukunya Improving Agricultural Extension memberikan arahan kedepannya pengembangan penyuluhan harus mampu menjawab tantangan yang ada, selain berparadigma keberlanjutan, juga tantangan lain, salah satunya perubahan sosial ekonomi yang ditemui di masyarakat. Empat arah utama pengembangan penyuluhan perlu memperhatikan hal berikut  (Gustafson cit Swanson, 1997)  :

1.Ekonomi dan kebijakan

Adanya kecenderungan dari pemerintah untuk lebih efisien dalam pelayanan publik (penyuluhan). Kebijakan disini termasuk keterbatasan pemerintah dalam merektrut tenaga-tenaga penyuluh. Sehingga dalam perkembangannya pelayanan penyuluhan lebih luas dengan adanya privatisasi dan penswadayaan pada..

2.Konteks sosial di pedesaan

Di masa depan, penduduk  pedesaan pasti akan semakin lebih berpendidikan, sementara dengan adanya paparan dari media massa akan terus mengurangi isolasi terhadap informasi, gagasan, dan kesadaran dari situasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. konteks. Namun, paparan ini tidak akan mengurangi kebutuhan mereka terhadap penyuluhan. Sebaliknya, mengingat perubahan tuntutan terhadap produsen pertanian dari adanya pertumbuhan penduduk, peningkatan urbanisasi, perubahan legislatif, dan persyaratan pasar, pelaku pertanian tetap akan memerlukan berbagai jenis layanan penyuluhan.

3.Sistem pengetahuan

Adanya sebuah pengakuan sistem pertanian lokal spesifik dan informasi pertanian  yang mendukung pelayanan penyuluhan. Pengakuan ini juga menyiratkan bahwa penyuluh dan petani secara bersama-sama terlibat dalam verifikasi dan adaptasi baru teknologi, dan dengan demikian bahwa penyuluh petani sebagai percobaan, pengembang, dan adaptor teknologi dan mencurahkan lebih banyak energi pada komunikasi di dalam daerah lokal mereka.

4.Teknologi informasi

Pesatnya perkembangan teknologi informasi merupakan salah satu faktor terbesar untuk perubahan penyuluhan, yaitu dengan adanya banyak kemungkinan untuk aplikasi potensi teknologi dalam penyuluhan pertanian.  Teknologi informasi akan membawa informasi baru layanan ke daerah pedesaan di mana para petani, sebagai pengguna, akan memiliki kontrol jauh lebih besar, dari saluran informasi masa lalu. Petani pun akan lebih banyak mendapatkan informasi yang nantinya dapat dipilih mana yang sesuai dengan usaha taninya.

FAO sendiri mengenalkan SARD (Sutainable Agricultural and Rural Development) yaitu bagaimana petani melihat bahwa penyuluhan sebagai bentuk bantuan untuk membantu meningkatkan pengetahuan, efisiensi, produktivitas, profitabilitas, dan kontribusi terhadap pribadi,  komunitas keluarga mereka, dan masyarakat. Pada saat yang sama, politisi, perencana, dan pembuat kebijakan di banyak negara berkembang melihat penyuluhan dalam negara sebagai instrumen kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian, untuk mencapai ketahanan pangan nasional, dan  pada saat yang sama, membantu mengurangi kemiskinan di pedesaan (Swanson et al, 1997). Kegiatan ini diharapkan mengarah kepada peningkatan dan berkelanjutan produktivitas, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pertanian, dan untuk promosi ketahanan pangan nasional dan pertumbuhan ekonomi.

Pergeseran paradigma pembangunan juga muncul dalam UU No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K). Pergeseran paradigma bermaksud menggantikan pendekatan top down dengan mendorong dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat (menjadi bottom up), utamanya dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Identifikasi terhadap pihak yang diuntungkan dan pengaruh terhadap kelompok rentan telah memenuhi semua sasaran, sehingga implementasi UU akan mendapatkan dukungan publik yang tinggi.

Dalam UU SP3K keragaan penyuluhan yang sebelumnya tidak teratur menjadi lebih teratur. Dalam hal kelembagaan, UU ini jelas mengamatkan mengenai kelembagaan dan tugasnya dari tingkat pusat hingga daerah. Di UU ini juga sudah dikenal 3 macam penyuluh, yaitu penyuluh PNS, penyuluh swasta, dan penyuluh swadaya. Dalam pelaksanaannya pun jelas bahwa sarana dan prasarana terkait dengan UU SP3K ditanggung oleh pemerintah, swasta, dan swadaya. Sumber pembiayaan pun yang dahulu cenderung membebani APBN dalam UU SP3K ini beban pembiayaan penyuluhan ditanggung oleh APBN, APBD, dan sudah ditekankan sektoral maupun lintas sektoral.

Adanya UU ini merupakan jaminan keberlangsungan penyuluhan di Indonesia. Melihat banyaknya badan/institusi dalam kelembagaan pernyuluhan sebagai hasil dari amanat UU ini diharapkan memperkuat posisi penyuluhan asalkan terjadi koordinasi yang jelas antar institusi tersebut. Dengan adanya UU SP3K ini sudah seharusnya target dari Kementrian terkait yang melalui program mampu dicapai dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.

Adanya UU SP3K merupakan dukungan untuk revitalisasi penyuluhan pertanian. Kedepannya dengan adanya revitalisasi penyuluhan pertanian dapat lebih mengoptimalkan peran dari petani, penyuluh, maupun pihak-pihak terkait, yang nantinya mampu mendukung program-program dari Kementrian Pertanian yang melibatkan penyuluhan. Revitalisasi penyuluhan pertanian bukan sekedar menjadikan petani  berubah pengetahuan, sikap, dan keterampilannya saja, melainkan juga menjadikan petani lebih mandiri dan beradab dalam tata kelola usaha budidayanya, petani mampu mentaati tatanan sosial serta arif dalam pemanfaatan sumber daya. Yang pada akhirnya menjadikan petani lebih sejahtera.

***Tulisan ini merupakan ‘pecahan’ dari bahan kajian saya dari beberapa sumber dalam rangka tugas mata kuliah seminar kelas tahun 2011 yang ber judul Revitalisasi  Penyuluhan Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Diversifikasi  Pangan Pokok Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Dibimbing oleh Bapak Supriyanto. Saya muat di kompasiana.com agar dapat diambil manfaat bagi yang memerlukannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun