Mohon tunggu...
Muhamad Nour
Muhamad Nour Mohon Tunggu... Love traveling

Paguntaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tarakan Punya Cerita: Pindah sekolah

7 Oktober 2016   13:26 Diperbarui: 7 Oktober 2016   13:43 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ambau, alat tangkap kepiting | Dokumentasi pribadi

Masih cerita kami duduk di sekolah dasar di ujung utara pulau Kalimantan yang berbatasan dengan Sabah Malaysia, di kota Tarakan Kalimantan Utara. Kami yang sudah duduk dikelas 3 waktu itu, sebagian ada yang sudah bisa membaca dan berhitung, sementara sebagian lagi masih kesulitan membaca kalimat sederhana keluarga si budi, seperti: “ini budi”, “ini bapak budi” dan lain-lain. 

Kepala Sekolah SD ini unik, selain metode seleksi masuk “Tangan Menggapai Telinga” (TMT), ada metode lain yang dia gunakan untuk memindahkan murid sekolah dasar negeri 003 Tarakan ke sekolah Inpres, yaitu, hanya dengan pertanyaan sederhana: “siapa yang tinggal di strat buntu?”. Straat buntu adalah tempat kami sebagian murid tinggal, dinamakan oleh pihak Belanda jaman dulu, yang artinya jalan buntu. Sebegitu tidak kreatif memang kolonial Belanda, bikin nama jalan aja nga becus, pantas aja, bahasa kedua kita adalah Bahasa Inggris. 

Aku mengacungkan jari, begitupun teman-temanku yang lain, setengah kelas, bahkan sebagian teman-temanku bermain dan sisanya lagi sepupuku, yang tinggal di Strat Buntu. Perpindahan ini diikuti oleh si Japoy, aslinya Said Jafar, sang juara kelas, tiga tahun berturut-turut tidak naik kelas. Si Japoy ini, mama arab dari kalangan Habib dan bapak India selatan, perawakan tinggi besar hitam, mirip penjahat film India. Jadi, aku kelas tiga, dia masih kelas satu.

Ternyata, pak kepala sekolah ini memindahkan tak hanya kelas 3 tapi juga murid kelas 1 dan 2, yang juga tinggal di Straat Buntu. Sakti, tak ada protes, semua berlangsung lancar, tak perlu persetujuan orang tua, karena sekolah Inpres ini lebih dekat dengan lingkungan kami tinggal yang berada di hutan bakau, tempat kami biasa cari kepiting.      

Rupanya perpindahan kami ke sekolah Inpres baru itu digagas oleh pak tua rambut putih berkopiah. Sebegitu kuasanya pak tua itu terhadap nasib pendidikan kami, padahal junjungan kami, Tun Sri Mahatir, nga gitu-gitu amat.   

Ternyata bukan hanya kami para murid yang pindah, kami juga menggotong bangku kesayangan, meja dan hampir seluruh isi kelas, termasuk papan tulis. Aku kebagian bawa kapur tulis cap Sarjana. Sekolah baru ini terletak diatas hutan mangrove dekat sungai dengan halaman sekolah yang timbul tenggelam tergantung pasang surut. Tapi kami dikampung selalu mengambil sisi positif dari kekurangan, air pasang berarti ada banyak kepiting. Ketika anak-anak sekolah lain bawa kotak bekal ke sekolah, kami bawa Ambaw, alat tangkap kepiting tradisional Tidung, suku asli Tarakan, terbuat dari rotan yang melingkar, dengan umpan daging ikan hiu atau insang ikan. 

Awalnya, wali kelas tidak curiga beberapa murid ijin ke toilet, namun saat air pasang, intensitas ijin ke toilet ini terlalu sering hingga suatu saat wali kelas karena penasaran dan memergoki kami sedang mengikat kepiting yang terperangkap Ambaw. “Mampus dah” kami membatin. “Ooo, ini kerja kalian ya”, kata Ibu Ratna, wali kelas ku, orang Sangir Sulawesi Utara. Spontan “bu, kepiting ini untuk ibu!!”, kataku. Spontan juga Bu Ratna kaget, ditawari gratifikasi kepiting, segera saja kata “Ooo” tadi berganti “terima kasih ya”. Sejak itu, Bu Ratna, bukan saja menenteng tas berisi kepiting untuk dibawa pulang setiap hari, tapi juga penasihat sekaligus pelindung organisasi siswa nelayan kepiting kami, organisasi pertama di Indonesia yang ku ikuti. Kadang-kadang, dia justru yg maksa kami ijin ke toilet, nda peduli air surut atau pasang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun