Mohon tunggu...
Noriana Siregar
Noriana Siregar Mohon Tunggu... Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tantangan HAM di Era Digital: Privasi Versus Kekuasaan Data

7 Oktober 2025   07:25 Diperbarui: 7 Oktober 2025   07:22 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tantangan HAM di Era Digital: Privasi Versus Kekuasaan Data

Era digital, yang didorong oleh kemudahan akses internet dan media sosial, secara fundamental telah mengubah lanskap Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara konektivitas menawarkan peluang baru untuk kebebasan berekspresi dan berserikat, ia juga membuka celah berbahaya bagi kekuatan pengawasan data untuk menggerogoti hak asasi yang paling mendasar: hak atas privasi. Pertarungan antara privasi individu dan hegemoni data ini adalah tantangan HAM kontemporer terbesar abad ke-21.

Akar Masalah: Dua Kekuatan Pengumpul Data

Ancaman terhadap privasi di ruang digital berasal dari dua entitas dominan yang menguasai aliran data global: Perusahaan Teknologi Besar (Big Tech) dan Negara.

1. Hegemoni Data Korporasi

Perusahaan teknologi seperti Meta, Google, dan TikTok beroperasi dengan model bisnis pengawasan (surveillance capitalism). Mereka menawarkan layanan "gratis" kepada miliaran pengguna, namun imbalannya adalah data pribadi yang terperinci. Setiap interaksi---mulai dari search history, lokasi, waktu tidur, hingga pola scrolling---dipanen dan diolah menjadi profil psikografis yang sangat akurat.

Manipulasi dan Diskriminasi: Profil data ini tidak hanya digunakan untuk iklan, tetapi juga untuk memengaruhi perilaku pengguna secara masif. Ketika algoritma menentukan informasi apa yang harus kita lihat, hal itu dapat menciptakan filter bubble dan echo chamber, yang secara tidak langsung mengancam hak berpolitik yang rasional dan adil. Lebih jauh, jika data ini digunakan untuk menolak layanan (misalnya, pinjaman atau asuransi) berdasarkan profil digital tertentu, ini telah bergeser menjadi diskriminasi digital.

Arbitrase Konten: Ketika platform media sosial menghapus atau menonaktifkan akun, mereka secara efektif bertindak sebagai wasit global atas kebebasan berekspresi. Keputusan ini seringkali didasarkan pada pedoman korporasi yang samar, bukan pada kerangka hukum HAM yang transparan dan akuntabel.

2. Perluasan Kekuasaan Pengawasan Negara

Negara juga memanfaatkan potensi data besar untuk memperluas lingkup pengawasannya, seringkali dibenarkan atas dasar keamanan nasional atau penegakan hukum.

Regulasi yang Ambigius: Di Indonesia, terdapat kekhawatiran bahwa regulasi tertentu, seperti yang mengatur tentang Intersepsi Data dan penempatan server lokal, memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada aparat untuk mengakses komunikasi pribadi tanpa melalui proses pengadilan yang ketat (due process of law). Ini adalah pelanggaran terhadap asas-asas negara hukum dan membuka pintu bagi pengawasan massal yang menargetkan warga sipil.

Ancaman terhadap Aktivisme: Penggunaan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menjadi alat utama untuk membungkam kritik. Para aktivis dan jurnalis yang kritis sering menjadi korban kriminalisasi. Ketakutan akan pelacakan digital dan hukuman pidana menciptakan efek pembungkaman (chilling effect) yang mencekik diskursus publik dan mengancam hak berserikat dan berkumpul.

Jalan Keluar: Menegakkan HAM Digital

Untuk memulihkan keseimbangan dan menjamin HAM di era digital, diperlukan solusi terpadu dari segi regulasi, korporasi, dan edukasi publik.

Penguatan Independensi UU PDP: Meskipun Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), kunci keberhasilannya terletak pada lembaga pengawas yang benar-benar independen dan berani menerapkan sanksi tegas kepada Big Tech maupun institusi negara. Hak fundamental seperti hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dan hak untuk menolak profiling harus ditegakkan.

Menuntut Transparansi Algoritma: Harus ada dorongan global dan nasional untuk membuat algoritma yang memengaruhi HAM (seperti algoritma feed berita atau algoritma moderasi) menjadi lebih transparan. Kekuatan yang memengaruhi miliaran orang tidak boleh dioperasikan di dalam kotak hitam (black box). Akuntabilitas harus dipaksakan melalui regulasi.

Literasi Digital sebagai Hak: Pendidikan tentang privasi dan risiko digital harus menjadi bagian integral dari kurikulum dan program edukasi publik. Warga negara harus diberdayakan untuk memahami bahwa data mereka adalah bagian dari martabat mereka, dan mereka harus memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari pengawasan korporasi maupun negara.

Intinya, melindungi HAM di era digital tidak hanya tentang mengamankan password, tetapi tentang mendefinisikan kembali hubungan kekuasaan antara individu, teknologi, dan negara. Tanpa penegakan HAM yang tegas di ruang siber, nilai-nilai demokrasi dan kebebasan individu terancam tenggelam dalam lautan kekuasaan data.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun