Tantangan HAM di Era Digital: Privasi Versus Kekuasaan Data
Era digital, yang didorong oleh kemudahan akses internet dan media sosial, secara fundamental telah mengubah lanskap Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara konektivitas menawarkan peluang baru untuk kebebasan berekspresi dan berserikat, ia juga membuka celah berbahaya bagi kekuatan pengawasan data untuk menggerogoti hak asasi yang paling mendasar: hak atas privasi. Pertarungan antara privasi individu dan hegemoni data ini adalah tantangan HAM kontemporer terbesar abad ke-21.
Akar Masalah: Dua Kekuatan Pengumpul Data
Ancaman terhadap privasi di ruang digital berasal dari dua entitas dominan yang menguasai aliran data global: Perusahaan Teknologi Besar (Big Tech) dan Negara.
1. Hegemoni Data Korporasi
Perusahaan teknologi seperti Meta, Google, dan TikTok beroperasi dengan model bisnis pengawasan (surveillance capitalism). Mereka menawarkan layanan "gratis" kepada miliaran pengguna, namun imbalannya adalah data pribadi yang terperinci. Setiap interaksi---mulai dari search history, lokasi, waktu tidur, hingga pola scrolling---dipanen dan diolah menjadi profil psikografis yang sangat akurat.
Manipulasi dan Diskriminasi: Profil data ini tidak hanya digunakan untuk iklan, tetapi juga untuk memengaruhi perilaku pengguna secara masif. Ketika algoritma menentukan informasi apa yang harus kita lihat, hal itu dapat menciptakan filter bubble dan echo chamber, yang secara tidak langsung mengancam hak berpolitik yang rasional dan adil. Lebih jauh, jika data ini digunakan untuk menolak layanan (misalnya, pinjaman atau asuransi) berdasarkan profil digital tertentu, ini telah bergeser menjadi diskriminasi digital.
Arbitrase Konten: Ketika platform media sosial menghapus atau menonaktifkan akun, mereka secara efektif bertindak sebagai wasit global atas kebebasan berekspresi. Keputusan ini seringkali didasarkan pada pedoman korporasi yang samar, bukan pada kerangka hukum HAM yang transparan dan akuntabel.
2. Perluasan Kekuasaan Pengawasan Negara
Negara juga memanfaatkan potensi data besar untuk memperluas lingkup pengawasannya, seringkali dibenarkan atas dasar keamanan nasional atau penegakan hukum.
Regulasi yang Ambigius: Di Indonesia, terdapat kekhawatiran bahwa regulasi tertentu, seperti yang mengatur tentang Intersepsi Data dan penempatan server lokal, memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada aparat untuk mengakses komunikasi pribadi tanpa melalui proses pengadilan yang ketat (due process of law). Ini adalah pelanggaran terhadap asas-asas negara hukum dan membuka pintu bagi pengawasan massal yang menargetkan warga sipil.