Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Praktisi Sustainability yang fokus pada dekarbonisasi industri, pengelolaan emisi, dan penerapan green policy. Melalui tulisan di Kompasiana, saya mengajak pembaca memahami tantangan dan peluang menuju industri hijau yang kompetitif secara global.

Berbagi wawasan dan strategi menuju masa depan industri yang rendah emisi dan berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membesarkan Anak dan Menyelamatkan Bumi: Potret Ibu Tunggal di Garis Depan Keberlanjutan

5 September 2025   19:49 Diperbarui: 5 September 2025   19:49 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perempuan pekerja (https://www.parapuan.co/, 2021)

Potret Ibu Tunggal di Garis Depan Keberlanjutan
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar tinggi, seorang ibu tunggal sudah bergegas. Satu tangan menyiapkan bekal anak untuk sekolah, tangan lain merapikan berkas rapat. Ia tahu, begitu melangkah ke kantor, perannya berubah: dari seorang ibu menjadi seorang profesional yang bertanggung jawab atas agenda besar Perusahaan mendorong keberlanjutan, efisiensi energi, dan pengurangan emisi.

Potret ini sama persis dengan berbagai gambaran ibu tunggal di seluruh dunia. Salah satu film Drakor 2008 'Working Mom', yang tayang di SBS, dan disutradarai Oh Jong-rok merupkan drakor yang cukup mewakili situasi ini. Yum Jungah, aktris pemeran Choi Gayoung, seorang wanita karir yang tiba-tiba menjadi ibu, lalu berjuang mengurus keluarga sambil kembali terjun ke dunia kerja. Ada beberapa kalimat dialog yang membuat kita berempati, seperti saat dia harus berjuang dengan target kerja yang berat, tapi pikirannya tertuju pada anak di rumah dan tentu kepedihan yang harus ditanggung. "Tak ada yang mudah. Tapi kalau aku menyerah, siapa yang akan menafkahi anakku?" "Aku bekerja keras bukan untuk diriku sendiri. Semua ini untuk masa depannya." Tak hanya Working Mom, drakor 'Love & Secret' 2014-2015 juga sama, menceritakan seorang designer yang juga harus menjadi ibu tunggal.

Secara global, jumlah ibu tunggal sangat besar. Data Gallup (2020) mencatat sekitar 13% perempuan usia 18-60 tahun di seluruh dunia adalah ibu tunggal dengan anak di bawah 15 tahun, angka yang lebih tinggi di Sub-Sahara Afrika (32%) dan Amerika Latin (30%). Sementara itu, UN Women memperkirakan ada sekitar 202 juta ibu tunggal di dunia, baik yang tinggal sendiri dengan anak maupun dalam rumah tangga besar. Dari sisi ekonomi, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa 71% ibu tunggal dengan anak kecil ikut dalam angkatan kerja, artinya mayoritas mereka harus bekerja demi menopang kehidupan keluarga. Angka-angka ini menegaskan bahwa fenomena ibu tunggal pekerja bukan hal kecil, melainkan realitas global yang penting untuk didukung dengan kebijakan ramah keluarga dan keberlanjutan sosial.

Di Indonesia, sosok seperti ini bukan pengecualian. Data Badan Pusat Statistik 2023 menunjukkan hampir 1 dari 8 rumah tangga atau 12,73% rumah tangga dipimpin oleh perempuan, yang berarti jutaan ibu tunggal memikul beban ganda: menjaga keluarga dan mencari nafkah. Banyak di antara mereka bekerja di sektor swasta, di mana jam kerja panjang dan target tinggi menjadi keseharian.

Dua Dunia yang Selalu Beririsan
Dunia kerja termasuk sektor swasta menuntut ketahanan tinggi. Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia pada 2024 berada di kisaran 52-53%, jauh di bawah laki-laki 81%, menandakan masih lebarnya jurang kesempatan ekonomi berbasis gender. Ketimpangan ini terasa kian nyata bagi ibu tunggal yang menanggung peran pengasuh utama dan pencari nafkah (Data Bank Dunia, 2025).

Di titik inilah kesenjangan itu terlihat paling tajam. Bagi seorang ibu tunggal yang bekerja di sektor keberlanjutan, dunia profesional bukan sekadar ruang mencari nafkah. Di satu sisi, ada keterbatasan akses, jam kerja panjang, dan dukungan yang minim. Di sisi lain, beban ganda justru memberi makna tambahan pada profesi yang dijalani. Setiap usaha menjaga lingkungan bukan hanya pencapaian perusahaan. Bagi ibu tunggal, itu adalah refleksi perjuangan pribadi: bahwa semua jerih payah pada akhirnya adalah investasi bagi masa depan anak yang mereka rawat seorang diri.

Realitas ini mudah dikenali banyak orang: seorang ibu yang selepas rapat penting masih harus bergegas menjemput anak, atau yang di tengah tekanan target kerja tetap memikirkan biaya sekolah bulan depan. Bagi ibu tunggal, dilema semacam itu adalah rutinitas, bukan pengecualian. Namun justru di sinilah letak relevansinya dengan isu keberlanjutan. Seperti halnya bumi yang harus tetap dijaga meski sarat tantangan, ibu tunggal pun terus bertahan meski dibebani keterbatasan. Keduanya sama-sama mengajarkan bahwa ketekunan dan daya tahan adalah kunci, karena masa depan anak dan generasi mendatang tak bisa menunggu.

Karena itu, bekerja di bidang keberlanjutan menuntut lebih dari sekadar keterampilan teknis. Setiap angka emisi yang berhasil diturunkan, setiap sertifikasi hijau yang diraih, lahir dari rapat panjang, koordinasi lintas departemen, hingga negosiasi dengan pemasok. Namun bagi ibu tunggal, capaian-capaian itu bukan sekadar target. Keberlanjutan adalah wujud nyata cinta: bukan hanya tentang bumi, tetapi juga tentang memastikan anak mereka tumbuh di masa depan yang lebih aman dan layak.

Tantangan di Sektor Swasta
Perusahaan swasta di Indonesia masih belum sepenuhnya ramah terhadap pekerja perempuan, apalagi ibu tunggal. Fleksibilitas kerja kerap hanya jargon, padahal peran ganda menuntut ruang untuk mengatur ritme antara kantor dan rumah. Di sisi lain, akses terhadap layanan pengasuhan anak masih terbatas dan mahal. Akibatnya, banyak ibu terpaksa keluar dari pasar kerja atau terjebak dalam pekerjaan informal dengan pendapatan rendah.

Bagi ibu tunggal, kenyataan ini berarti harus ekstra tangguh. Ada malam ketika anak demam sementara laporan harus rampung sebelum tengah malam. Ada pagi ketika rapat penting berbenturan dengan acara sekolah. Situasi semacam itu sering melahirkan rasa bersalah ganda: khawatir dianggap gagal sebagai pekerja, sekaligus takut mengecewakan sebagai ibu.

Padahal, menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), layanan pengasuhan anak bukanlah beban, melainkan investasi penting. Ketersediaan childcare dan kebijakan cuti yang memadai terbukti langsung meningkatkan partisipasi kerja perempuan serta produktivitas ekonomi. Pemerintah Indonesia bersama ILO dalam dua tahun terakhir bahkan mendorong agenda care economy sebagai fondasi pembangunan SDM yang lebih setara. Namun tanpa implementasi nyata di sektor swasta, kebijakan itu hanya akan menjadi wacana.

Ada pula dimensi keselamatan yang kerap luput. Laporan tahunan Komnas Perempuan merekam ratusan ribu kasus kekerasan berbasis gender yang masuk dari beragam lembaga sepanjang 2024 indikator beban psikososial yang nyata bagi perempuan, termasuk ibu tunggal. Meski angka administratif pengaduan langsung ke Komnas bisa naik-turun, tren kekerasan berbasis gender yang dicatat jejaring lembaga layanan menunjukkan peningkatan. Artinya, dukungan kebijakan di tempat kerja perlu membentang dari fleksibilitas hingga mekanisme perlindungan yang responsif (Data Komnas Perempuan, 2025).

Dalam konteks perusahaan swasta, ada tiga tuas kebijakan yang paling berdampak:
1. Fleksibilitas kerja yang "riil" bukan sekadar jargon meliputi pengaturan jam kerja, opsi kerja hibrida, dan toleransi berbasis output yang mengakui realitas pengasuhan tunggal. Berbagai kajian kebijakan kerja ramah keluarga menunjukkan fleksibilitas dan cuti pengasuhan yang layak sebagai pilar retensi talenta Perempuan (researchgate, 2024).
2. Dukungan childcare-dari subsidi, kemitraan daycare tepercaya, hingga fasilitas di dekat pabrik/kantor. ILO menempatkan layanan pengasuhan sebagai investasi dengan pengganda ekonomi: perempuan bertahan di pekerjaan formal, jam kerja stabil, dan produktivitas meningkat (Data Investing Women Asia, 2025).
3. Perlindungan dan keselamatan kerja kebijakan anti-kekerasan & anti-pelecehan yang tegas, kanal pelaporan aman, serta edukasi rutin. Tren Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) menegaskan urgensinya agar perusahaan tidak sekadar patuh aturan, tetapi proaktif membangun lingkungan yang aman.

Di level kebijakan publik, momentum care economy perlu diterjemahkan lebih konkret: standardisasi mutu daycare, insentif bagi pemberi kerja yang menyediakan dukungan pengasuhan, dan integrasi data agar intervensi tepat sasaran. Upaya administratif yang mengakui realitas orang tua Tunggal misalnya kemudahan pencantuman identitas ibu di dokumen pendidikan anak juga merupakan langkah penting menuju inklusivitas.

Kekuatan dan Resiliensi
Namun justru dari tekanan itulah lahir kekuatan. Menjadi ibu tunggal melatih disiplin, daya tahan, dan kemampuan membuat keputusan cepat sifat yang sangat relevan dengan dunia sustainability, di mana perubahan regulasi dan target pasar bisa terjadi kapan saja.


Ketakutan akan kehilangan, baik pekerjaan maupun kendali atas keluarga, sering bertransformasi menjadi energi positif. Seorang ibu tunggal belajar bertahan tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anak. Dan ketika energi itu dibawa ke ruang kerja, hasilnya adalah komitmen yang konsisten: menjaga agar perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga tanggung jawab pada lingkungan dan masyarakat.

Bagi seorang ibu tunggal profesional di sustainability, pelajaran paling penting justru lahir dari keseharian: ketahanan (resilience), disiplin, dan pandangan jangka panjang. Di pabrik baja atau kantor pusat, nilai-nilai itu serasa klop dengan tuntutan dekarbonisasi yang bukan sprint, melainkan maraton: menyusun peta jalan emisi, mengejar sertifikasi, bernegosiasi dengan rantai pasok, mengubah perilaku energi di lantai produksi. Ketekunan yang sama dipakai di rumah: mendampingi PR, menyusun anggaran, dan menenun harapan.

Kita kerap memuja ikon "pahlawan hijau (green hero)" dalam figur besar aktivis global, konglomerat dermawan padahal pada kenyataannya, banyak penjaga bumi itu bernama ibu. Mereka menyalakan lampu hemat energi, memilah sampah, berjalan kaki ke sekolah, mengajarkan anak menanam, hingga memimpin transformasi proses industri agar lebih efisien energi. Hal-hal kecil yang, bila dijumlah, menggeser jarum perubahan.

Karena itu, narasi ibu tunggal di dunia kerja tak seharusnya dibingkai sebagai kelemahan, melainkan aset strategis. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, mereka bukan saja bertahan mereka memimpin. Perusahaan yang menganggap serius ESG selayaknya memulai dari "S" (social) di rumahnya sendiri: memastikan pekerja perempuan, khususnya ibu tunggal, memiliki akses, keamanan, dan peluang yang adil untuk berkembang.

Kisah ibu tunggal di jalur keberlanjutan seharusnya menjadi pengingat bahwa keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keadilan sosial. Perusahaan yang serius pada agenda ESG perlu menaruh perhatian pada pekerjanya sendiri dengan kebijakan fleksibilitas, fasilitas pengasuhan, serta jaminan lingkungan kerja yang aman dari diskriminasi.

Di tingkat kebijakan publik, momentum "care economy" yang kini sedang dibicarakan perlu diwujudkan lebih nyata: dukungan finansial bagi pengasuhan anak, subsidi layanan daycare, serta kemudahan administratif bagi orang tua tunggal. Tanpa itu, cerita ketangguhan ibu tunggal akan terus berulang, tapi tanpa cukup ruang untuk benar-benar tumbuh.

Menjadi ibu tunggal sekaligus profesional di bidang keberlanjutan memang tidak sederhana. Ada air mata, ada lelah, ada rasa takut yang membelenggu. Tetapi di balik itu ada keyakinan: bahwa membesarkan anak dan menyelamatkan bumi bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan dua misi yang saling melengkapi.


Di ruang keluarga, ia menjaga satu kehidupan. Di ruang kerja, ia ikut menjaga kehidupan banyak generasi mendatang. Dan di titik temu itulah, keberlanjutan menemukan makna paling manusiawi.

Pada akhirnya, membesarkan anak dan menyelamatkan bumi bukan dua misi yang saling berlomba. Keduanya saling menguatkan. Bagi banyak ibu tunggal, keberlanjutan adalah cara lain untuk menyebut cinta: ikhtiar agar dunia esok hari dunia anaknya lebih layak ditinggali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun