Kegiatan kuliah biasanya identik dengan kelas, presentasi, tugas makalah, atau diskusi di ruangan. Tapi kali ini, mata kuliah yang diasuh oleh Pak Mahfudz memberi pengalaman yang benar-benar berbeda. Bukan di dalam kelas, bukan juga lewat Zoom. Kami diajak untuk melakukan trip ke Gunung Merapi. Bukan sekadar jalan-jalan, tapi juga sebagai bentuk pembelajaran lapangan. Dan yang bikin unik, kami semua berangkat naik motor bareng-bareng satu kelas! Hari itu, pagi-pagi kami sudah berkumpul dengan jaket tebal, helm di kepala, dan tas ransel berisi bekal dan air minum. Pak Mahfudz pun ikut bersama kami, lengkap dengan motornya. Dari awal saja, rasanya udah beda. Energinya semangat, suasananya akrab, dan kami semua udah kebayang serunya perjalanan ini. Tujuannya bukan hanya refreshing, tapi juga menelusuri jejak sejarah dan budaya di lereng Merapi.
Destinasi pertama kami adalah Museum Mbah Maridjan, adalah tokoh legendaris yang dikenal sebagai juru kunci Gunung Merapi. Begitu kami sampai di sana, suasananya langsung terasa khidmat. Museum ini menyimpan banyak sekali benda-benda peninggalan dan kisah hidup almarhum Mbah Maridjan yang sangat lekat dengan Merapi dan spiritualitas Jawa. Di sini, Pak Mahfudz menjelaskan banyak hal soal relasi antara manusia dan alam, terutama bagaimana masyarakat lereng Merapi hidup berdampingan dengan bencana, tapi tetap memegang teguh nilai-nilai lokal. Kami semua menyimak, sambil sesekali saling tukar pendapat. Rasanya seperti kuliah beneran, tapi jauh lebih hidup.
Perjalanan dilanjutkan ke sebuah kafe milik kerabat Pak Mahfudz yang juga punya nilai sejarah. Di kafe itu, kami istirahat sambil menyeruput kopi hangat dan melihat-lihat foto-foto lawas serta ornamen khas Merapi yang menghiasi interior kafenya. Di sana, Pak Mahfudz bercerita soal bagaimana tempat itu dulu sempat terkena dampak erupsi, lalu dibangun kembali dengan semangat untuk tetap menjaga nilai tradisi dan keberlanjutan. Duduk-duduk di sana, sambil ngobrol dan diskusi ringan, bikin suasana makin akrab. Rasanya seperti belajar sambil nongkrong tapi tetap bermakna. Setelah cukup istirahat, kami kembali tancap gas menuju destinasi selanjutnya: Bunker Kaliadem. Jalannya mulai menanjak, berkelok, dan udara terasa makin sejuk. Beberapa di antara kami bahkan sempat berhenti sejenak di pinggir jalan, cuma buat nikmatin pemandangan. Hijaunya lereng Merapi, suara burung, dan hawa segar khas pegunungan bikin hati tenang. Di atas motor, kami bisa ngobrol bebas, saling teriak antar motor, dan tentu saja bercanda sepanjang jalan. Bagi kami, ini bukan cuma tugas kuliah. Ini perjalanan yang terasa personal dan penuh kesan.
Yang paling seru adalah ketika tiba-tiba kabut turun perlahan, dan hujan rintik mulai turun. Tapi, bukannya buru-buru cari tempat berteduh, kami malah semakin semangat menikmati suasana. Dari speaker bluetooth, teman kami mulai memutar musik. Lagu-lagu santai hingga beat yang bikin semangat diputar satu per satu. Kami pun mulai joget-joget kecil, ketawa-ketawa, dan saling guyur air hujan sambil main lempar-lemparan tepung warna yang udah disiapin dari awal. Suasana langsung berubah jadi meriah. Warna-warni tepung beterbangan di udara, menempel di jaket, wajah, bahkan helm. Hujan dan kabut bikin semuanya terasa mistis tapi seru. Bahkan, kami sampai berlarian muter-muter di bundaran kecil di area bunker, sambil nyanyi rame-rame dan teriak-teriak lepas. Lelah? Pasti. Tapi puasnya nggak bisa digambarkan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI