Mohon tunggu...
Nona Reni
Nona Reni Mohon Tunggu... -

Menyukai dunia kepenulisan, dan sedikit bawel

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ada yang Berbeda

19 April 2015   10:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:55 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari belum lagi meninggalkan peraduannya, namun mata ini telah terlebih dahulu terpejam meninggalkan sunset yang kubiarkan lewat tanpa kunikmati sore ini. Entah mengapa hari ini rasa letih yang terlalu kembali menggerayangi setiap sendi-sendiku. Bukan karena ingin mengeluh atau apa, hanya saja sedikit ingin melepaskan belenggu dari rutinitas yang memaksaku menjadi tulang punggung untuk keluarga sejak bundaku meninggal.

Kenapa secepat ini kau tinggalkan aku, Bunda? Ingin kubenamkan semua dengan semau-mauku takdir yang telah berlaku dalam mimpi dan kembali terbangun pada kejadian lampau di saat aku memiliki segalanya. Bukankah aku tidak pernah berbuat jahat padamu Tuhan, atau menggadaikanmu dengan berhala-berhala dunia, tetapi kenapa Engkau tetap saja tidak sedikitpun berbelas asih kepada hamba yang begitu mengasihimu ini?

Entah berapa lama aku tertidur, hanya saja pas terbangun suasana gelap sudah mendominasi. tidak ada cahaya apapun--namun aku masih bisa memandangi sekeliling, memandangi arwah-arwah penasaran yang terkadang suka usil menyentuh atau gak menakutiku dengan tampangnya yang aneh pun tidak dapat kujabarkan--bukan rekayasa atau halusinasi, benar adanya aku adalah cenayang--sejak kejadian Bunda meninggal. Bahkan aku mampu menebak akhir dari embus napas seseorang--jika sampai di telingaku berkabar akan kesakitannya. Bunda, aku sudah menyiapkan hati 40 hari sebelum engkau dipanggil olehnya--berusaha menguatkan hati bahwa akan ada keajaiban--membujukmu memakai alat-alat kesehatan, selang infus, tabung oksigen, penyuplai makanan--berupa selang, semata hanya untuk membangkitkan jiwamu bertahan untuk sembuh. Tahukah kamu, sebahagian organ yang lain berusaha tetap hidup dan sembuh, sementara sebahagiannya lagi memilih menyerah dan mati--hanya saja aku tetap egois, tidak mampu menerimanya bahwa kejap lagi aku akan kehilanganmu.

Pas di hari itu, penghujung Maret, kau menyerah dan menghempaskan semua yang melekat di badanmu--bahkan menghitung-hitung semua materi yang kukorbankan padamu. Tidak Bunda, sekali-kali jangan kau coba membandingkan usahaku dengan materi--ini bahkan jauh dari apa yang kau lakukan untukku, ucapku hari itu. Dia tersenyum, menenangkan aku--Bunda tidak akan meninggalkanmu; betapa leganya aku Bunda kala itu, meskipun dalam kibulanmu.

Dini hari, masih penghujung Maret, kau pinta wudhukan dirimu yang mulai kedinginan, ibarat es katamu--di ubun-ubun; gigil sepenuhnya. Mengajilah, Nak--pintamu. Aku bisa apa Bunda, aku tak pandai, bahkan aku dalam keadaan tak suci. Panggil bapakmu--orang yang Bunda kasihi, masih saja Bapak tak memedulikanmu Bunda, buat apa sungutku waktu itu. Tidakkah kau merasa puas jika aku rawat sendiri. Lihatlah suamimu--dia jijik Bunda, tak ingin sekalipun mendekat, menengok dirimu. Apa yang kau harapkan. Cukup, bentakmu masih menggema sampai sekarang. Bawakan aku Alquran, Bunda ingin tenang--selimuti saja dan berbaringlah di samping Bunda, hanya untuk malam ini saja--kau tak jijikkan? Sambil meludah ke arah baskom yang memang sengaja kusediakan. Penyakit yang aneh--Bunda tidak bisa menelan apapun, hanya sebatas tenggorokan dan muntah lagi, hingga hidupnya hanya bergantung pada selang infus dengan hitungan 2 jam habis--ganti lagi. Penyaki aneh, tidak terdeteksi sampai sekarang--pihak Rumah sakit mengizinkannya pulang, kulihat kepala-kepala ahli menggeleng, tidak bisa--kami menyerah, penyakit tak terdeteksi, kemarin kami tawari bedah dan pasien menolak, terakhir selang yang kami masukkan hanya sampai tenggorokan--keluar darah 2 baskom dan dia memutuskan pulang--pasien marah dan merasa dianiaya--meminta pulang. Kami tak bisa apa-apa. Tidak ada rekam medik--tidak ada surat keterangan apapun hanya kami mengira-ngira itu kanker tenggorokan, bukan gastritis bahkan penyakit liver. Tapi kami bisa apa, antibiotik sekali suntik harganya ribuan--bahkan sehari di rumah sakit setahun gajiku Bunda--tak mengapa.

Sungguh bodoh, aku terlambat menyadari--Bunda tidak lagi bisa membaca Alquran kala itu--tulisannya berangkai katanya, padahal Bunda belum dalam usia menderita katarak. Tanda-tanda kepergian, matanya melihat pintu, lama sekali tanpa keip lantas tersenyum. Aku mengerti bahwa mungkin masa itu malaikat datang mengabarkan padanya tempat--tujuan dan pengakhirannya kelak. Kulihat matanya kosong, tidak lagi mampu mengenali siapapun, kecuali Ayahku. Begitu dalam cinta ibu yang tak terbahasakan, bahkan untuk mengenali laki-laki bangsat seperti itu di akhir hidupnya masih mampu--kenapa bukan aku?

Waktu berjalan pelan hari itu, tepat jam 8 pagi, aku mencoba menghidupkan api untuk memasakkannya--mati-nyala--kembali mati. Jangan kau hidupkan api, kau pergilah dekat ibumu, suara itu berbisik. Dan lihatlah bagaimana orang hidup mengalami sakratul maut. Kaki Ibu, tidak lagi berasa saat aku tekan, tanpa suara--matanya masih memandang pintu, tidak lagi ada pergerakan kecuali napasnya yang hanya sebatas perut, dan mulutnya yang lemah bergetar-getar, Bunda aku belum lagi suci, namun kubisikkan kalimat 2 syahadat. Bunda mengikuti dengan lidah--tak bersuara, hanya pergerakan.

Tidak, Ibu menunggu sesuatu--bukan saya. Suaminya, ya bapakku. Dengan menyingkirkan keegoan aku memintanya masuk membisikkan kalimat itu di telinga Bundaku--tenang, raut wajah bunda berubah--napasnya makin memburu perlahan pergerakan sampai leher dan suara seperti tercekik terdengar 3 kali, seiring bibirnya yang mengatup tersenyum dan matanya redup--menutup tidak begitu sempurna--seperti tidur saja.. Dan Innalillahi Wainnailaihi Rajiuun. Sesungguhnya hari itu buncahlah air mata, tidak aku sudah gila--betapa setelah kepergiannya aku masih sempat melihat Ruhnya mengikuti banyangan asing tak mampui kujabarkan(malaikatkah) entahlah. Ibu--tidak sempat kuminta ridhomu dalam restu pengantin, tak sempat pula kuminta maaf untuk segala keluhan ini--tak apa Bunda, sesalku. Hanya saja ingin kutemui dikau sesekali--pernah setahun sejak kepergianmu aku melihatmu--tidak lagi semanis dulu padaku, bahkan masih seperti guru les privat memberiku kertas ujian dan hasilnya 3 kali pengulangan tak lulus. Aku mendengus perlahan--tidak kau memang membenciku--bahkan seperti saudaraku yang lain--aku hanyalah pembawa sial, selama aku hidup pasti engkau tak bahagia--bukan karena apa kukira karena skandal itu. bahwa memiliki seorang anak gadis sama saja membawakan petaka padamu--tuduhan selingkuh dan segala macam--aku sadari diri, tidaklah semanis perlakuanmu padaku seperti mereka, saudara-saudaraku. Tak mengapa bunda, aku tidak ingin menuntut apa-apa, karena kuyakin tempatmu pasti sudah lebih baik, tidak lagi menderita mencukupiku--menjadi tulang punggungku dan mereka yang membebani pundakmu. Kau tahu Bunda, tidak sedikitpun aku akan membandingkanmu dengan materi seperti halnya kau membandingkan aku dengan mereka suadara dan uangmu. Hanya satu pintaku, kembalilah hidup dan mengkejami diriku, beberapa tahun lagi, aku masih kuat Bunda--aku masih kuat.

Watansoppeng, 2015

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun