Aliansi masyarakat sipil untuk advokasi buka data Hak Guna Usaha (HGU) lahan mengancam akan membawa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPR) setelah langkah somasi yang dilayangkan pada 11 Maret 2019 lalu tidak juga digubris.
Kementerian yang satu ini memang bisa dibilang "kepala batu." Pada 11 Maret 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mensomasi Menteri ATR/BPN untuk membuka data HGU. Namun tidak ada respon.
Padahal dua tahun lalu Forest Watch Indonesia (FWI) berhasil memenangkan gugatan hingga tingkat sidang kasasi di Mahkamah Agung. Putusan ini berarti pemerintah wajib membuka dokumen-dokumen perizinan hak guna usaha perkebunan sawit di Kalimantan. Putusan MA tertanggal 6 Maret 2017 dengan nomor register 121 K/TUN/2017. Ironisnya, sudah lewat dua tahun, putusan tersebut tidak kunjung direalisasikan.
Sofjan Djalil pernah menolak mengabulkan data dengan alasan pemerintah tak bisa sembarangan memberikan informasi, karena menyangkut pemegang hak dan luas lahan HGU merupakan informasi privat.
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnama Sari mengatakan, hingga kini Kementerian ATR/BPN belum merespon somasi itu. "Karena belum juga direspon, kami akan melaporkan Kementerian ATR/BPN secara pidana. Bersama dengan perwakilan masyarakat lokal," kata Era, pekan lalu.
Isu HGU belakangan kembali memanas pasca debat calon presiden 17 Februari 2019 lalu, kala Presiden Joko Widodo membuka kepemilikan HGU seluas ratusan ribu hektar di Kalimantan Timur dan Aceh Tengah yang dikuasai Prabowo Subianto, capres penantang.
Aliansi masyarakat sipil untuk advokasi buka data HGU, terdiri dari YLBHI, Eknas Walhi, Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sawit Watch, Huma, TuK Indonesia, Auriga, AMAN, ICEL, Greenpeace, Elsam menyayangkan, isu HGU hanya sebentar dan tak ditindaklanjuti serius oleh pemerintah.
Sebagai informasi, pada 6 Maret 2017 silam putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang memenangkan gugatan FWI dalam perkara Nomor 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 tertanggal 22 Juli 2016, diperkuat putusan Nomor 121 K/TUN/2017. Putusan itu memerintahkan Menteri ATR/BPN membuka data HGU yang masih berlaku hingga 2016 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Utara, baik informasi nama pemegang HGU, tempat dan lokasi, luas, jenis komoditi, peta yang dilengkapi titik koordinat.
"Urgensi keterbukaan HGU ini bukan kepentingan segelintir pihak, ini kepentingan masyarakat Indonesia," kata Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye FWI.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Asep Komarudin mengatakan gugatan keterbukaan informasi ini jadi peran partisipasi masyarakat sipil terhadap pemerintahan dalam bentuk kebijakan sumber daya alam. HGU sangat erat dengan sumber daya alam. Ia menegaskan, koalisi masyarakat memperjuangkan ini bukan berarti menolak pembangunan, namun memastikan pembangunan berjalan sesuai mekanisme.
"Ketertutupan informasi akan ciptakan konflik sosial, konflik agraria dan ketimpangan sosial. Apa yang dilakukan Kementerian ATR/BPN ini langkah mundur dari keterbukaan informasi dan contoh buruk lembaga negara yang membangkang putusan MA," katanya.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura, Kementerian ATR/BPN mencari jalan pintas dengan menghalau gugatan-gugatan keterbukaan informasi HGU, antara lain melalui kebijakan Permen ATR/BPN Nomor 7/2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.
Pasal 61 ayat 1, menyatakan," Setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui keterangan tentang data fisik dan data yuridis tanah HGU." Dalam regulasi itu, disebutkan, akan nada informasi lebih lanjut dalam petunjuk teknis tetapi hingga kini belum ada.
Charles bilang, aturan itu bertentangan dengan putusan KIP dan PTUN yang menyatakan HGU merupakan infromasi publik.
Awal Maret lalu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) meminta pemerintah membuka data kepemilikan tanah negara, termasuk HGU. HYal tersebut diperlukan agar lembaga tersebut dapat memonitor dan mengawasi HGU yang akan jatuh tempo.
"Berdasarkan data BPN, banyak jatuh tempo di 2023-2024. Tahun 2023, ada 136 HGU dan 2024 ada 100 HGU," ungkap Komisioner ORI Alamsyah Saragih.
"(Membuka data HGU) itu kewajiban pemerintah, dalam hal ini Kementerian ATR/BPN yang punya tupoksi di situ," kata dia.
Khalisah menilai Sofyan telah gagal memahami tujuan dari pembukaan data HGU. Sofyan sebelumnya berdalih langkahnya menolak membuka data HGU untuk melindungi industri sawit. Menurut Sofyan, industri sawit telah memberikan pekerjaan serta pendapatan bagi banyak petani di Indonesia. Industri sawit juga menjadi sumber pendapatan negara yang cukup besar. Karena itu, Sofyan berkukuh pembukaan data HGU sebagai informasi publik membahayakan kepentingan nasional.
Walhi berpendapat sebaliknya. Khalisah mengatakan, upaya membuka data HGU bertujuan melindungi negara dari praktik pelanggaran hukum yang dilakukan korporasi perambah hutan. Pembukaan data HGU sebagai informasi publik juga untuk membenahi tata kelola lahan dan mengatasi konflik agraria.
Acuan:
Tak buka data HGU koalisi akan pidanakan Kementerian ATR
Tolak buka data HGU, Walhi sebut menteri agraria lakukan pembangkangan
Pemerintah abaikan putusan MA buka data HGU lahan, apa akibatnya?