Mohon tunggu...
nofia ridwan
nofia ridwan Mohon Tunggu... -

seorang kuli buku

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dilema Angkat Kapolri

14 Februari 2015   01:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:14 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Drama sebulan ke belakang, cukup menyita pemberitaan di media massa. Bermula dengan pengangkatan Kapolri, lalu berlanjut pada masalah Polri vs KPK yang entah apakah hal ini adalah masalah lembaga atau masalah perorangan. Semua ahli turun tangan, praperadilan versus praperadilan. Kini yang menjadi dilema adalah ketika Presiden ingin membatalkan pengangkatan Kapolri yang telah disetujui oleh DPR, bolehkah? Tulisan ini akan membahas mengenai pengangkatan Kapolri dan penafsiran pasal-pasal dalam UU No. 2 Tahun 2002.

Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri

Secara khusus diatur dalam pasal 11 UU No 2 Tahun 2002, yang juga mengamanatkan terkait dengan tata caranya perlu dibuat kepres, namun sampai saat ini belum ada satupun kepres yang mengatur mengenai tatacaranya, yang adanya hanyalah perpres no. 52 tahun 2010 yang hanya mecantumkan pengangkatan dan pemberhentian kapolri dilakukan oleh Presiden.  Pada Pasal 11 dinyatakan sebagai berikut

(1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.

(3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

(7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

(8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.

Dari beberapa rumusan pasal tersebut, saya tertarik membahas 3 hal yaitu: mengenai pemberhentian kapolri, mengenai pengangkatan kapolri dan posisi persetujuan DPR dalam hal pengangkatan kapolri.

Pemberhentian Kapolri

Menarik untuk dibahas mengingat sebenarnya seharusnya yang menjadi tanda Tanya publik adalah mengapa Sutarman harus diberhentikan dan mengapa harus ada Kapolri baru padahal jangka waktu pensiun Sutarman masih cukup lama (Oktober 2015) dan sepertinya Sutarman masih cukup baik memimpin lembaga penyidik Negara ini. pada rumusan Pasal 11 ayat (2) dinyatakan bahwa usulan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan kepada DPR dengan menyertakan alasannya. Selanjutnya pada penjelasan Pasal ini dinyatakan bahwa proses pengusulan ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya sesuai dengan SOP yang berlaku pada DPR. Dan yang lebih penting adalah terkait dengan usulan pemberhentian harus dengan alasan yang sah antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dan dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.  Terkait dengan pemberhentian Sutarman, apakah diketahui apa alasannya. Apakah Sutarman telah berakhir masa jabatannya? Tidak.  Apakah Sutarman meminta sendiri untuk diberhentikan? Kelihatannya tidak. Apakah Sutarman sudah memasuki pension? Jelas tidak. Apakah Sutarman telah dijatuhi pidana yang BHT? Tak ada satupun putusan pengadilan yang BHT atas beliau. Jadi atas dasar apa beliau diberhentikan, apakah ada persetujuan dari DPR ,  bagaimana proses persetujuan DPR mengingat harusnya hal ini terbuka untuk umum karena seharusnya sama dengan sidang untuk mengangkat Kapolri, sidang untuk memberhentikan harusnya terbuka untuk umum dan terakhir kalaupun ada persetujuan dari DPR, mengapa DPR menyetujui pemberhentiannya? Apakah sesuai dengan alasan-alasan di atas, atau memang ada alasan lain yang sah, yang dianggap cukup untuk memberhentikan seorang Kapolri.

Pengangkatan Kapolri

Apa salahnya mengangkat Kapolri lalu apabila tidak cocok silahkan diberhentikan? Persoalan mengangkat Kapolri memang persoalan diskresi Presiden, karena sebagaimana dinyatakan pada Pasal 11 UU No. 2/2002, mengenai mengangkat dan memberhenti Kapolri adalah kewenangan Presiden. Namun tidak berhenti sampai situ. Untuk mengangkat Plt Kapolri saja, UU membatasi bahwa dapat dilakukan apabila ada keadaan mendesak. Untuk memberhentikan pun ada term and condition applied. Terkait dengan pengangkatan kapolri, kita harus melihat dari dua spectrum, spectrum pertama adalah tentang hukumnya, spectrum kedua adalah tentang teknisnya. Apakah sudah sesuai dengan hukum, selanjutnya apakah kesesuaian ini akan menjadikan lembaga POLRI lebih baik. Terkait dengan pengangkata BG, saya rasa permasalahannya terletak pada spectrum kedua. Bagaimana mungkin lembaga berjalan efektif di tengah pemimpinnya yang harus menyelematkan posisinya sebagai seorang pesakitan? Secara teknis, pasti adanya permasalahan hukum Komjen BG akan bermasalah pada lembaga, karena Kepala Kepolisian Republik Indonesia bertanggung jawab pada penyelenggaraan fungsi polisi secara umum.

Lantas pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah, apakah bermasalah apabila Presiden tidak mengangkat Komjen Budi Gunawan padahal DPR telah menyetujui usulan Presiden tersebut? Sejak awal, saya tidak sepakat intervensi KPK memberikan stabilo merah kuning hijau. Pertama adalah permasalahan kerahasiaan penyelidikan, kedua adalah permasalahan intervensi diskresi Presiden.  Yang menurut saya permasalahan lebih besar adalah permasalahan kerahasiaan penyelidikan. Apabila KPK terus memberikan kode merah kuning dan hijau di setiap pengangkatan pejabat, maka dapat disimpulkan bahwa Presiden selalu tahu siapa orang yang sedang diselidiki dan disidik KPK. Dalam kondisi ini maka penyidikan tidak lagi rahasia, melainkan telah diketahui oleh Presiden, dan Presiden sebenarnya dapat mengamankan orang-orang terdekatnya agar dapat bepergian keluar negeri (apabila genting), menghilagkan barang bukti dan lainnya upaya yang semestinya dihindari apabila ada penyidikan. Lebih jauh lagi, maka KPK bukan lagi menjadi lembaga independen, malah menjadi lembaga yang siap memberikan bocoran pada Presiden terkait dengan kasus-kasus korupsi, maka lebih jauh lagi, kita tidak lagi memerlukan KPK dalam kondisi seperti ini.

alasan kedua adalah terkait adanya intervensi KPK terhadap diskresi Presiden. Dalam menjalankan diskresinya, tak ada satupun peraturan yang membatasi Presiden untuk meminta informasi dari pihak manapun, namun terkait dengan  pilihannya, maka seluruhnya kembali lagi kepada Presiden. Kondisi ini membuat kita seharusnya tidak khawatir akan adanya intervensi dari pihak manapun, termasuk dari KPK, terhadap keputusan dari Presiden, karena apabila kita masih merupakan makhluk yang sadar, maka tidak mungkin kita memilih Presiden yang begitu mudah diintervensi, padahal tidak ada kuasa dari KPK untuk mengintervensi Presiden. Seluruhnya kembali lagi pada situasi dan kondisi yang dilihat dari sisi kebijaksanaan Presiden. Maka harusnya kita anggap, Presiden berdiri pada kakinya sendiri dalam memutus sesuatu, apalagi terkait dengan diskresinya. Adapun informasi dari KPK, PPATK dan lainnya hanya bersifat masukan. Karenanya saya tidak sependapat dengan Bapak Margarito Kamis yang menyatakan KPK mengintervensi Presiden. Tidak sama sekali, karena KPK tidak punya kekuasaan untuk melakukan hal tersebut, dan memang tidak ada satupun pernyataan dari KPK yang men-drive Presiden. Pernyataan seperti sama saja dengan menyatakan Presiden kekuasaannya berada di bawah KPK dan tidak bisa lari dari keinginan KPK. Bukanlah itu pernyataan yang negative? Namun yang perlu kita perhatikan adalah adanya ekses seperti sekarang, dimana seperti terlihat adanya factor subyektif yang melatarbelakangi ini semua. Ekses yang menarik hal-hal yang telah aman tenteram pada ranah hukum, menjadi perang bintang para jenderal dan pemimpin KPK. Politisasi. Karenanya, KPK harus sedemikian hati-hati dalam bersikap, membangun koordinasi yang baik tanpa mengurangi prinsip kerahasiaan dan independensi dalam peyidikannya, untuk menghindari proses politisasi seperti ini.

Namun celakanya  dari drama ini adalah saat DPR menyetujui calon yang telah ditersangkakan oleh KPK. Kita ketahui, bahwa pada saat Presiden mengajukan calon kepada DPR, status Komjen BG belum tersangka, baru setelah usulan ini dibahas DPR, maka status hukumnya naik menjadi tersangka. Dan pada saat status ini naik, DPR setuju dengan seorang TSK menjadi Kapolri. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita menilai kualitas dari persetujuan ini? layakkah wakil dari rakyat ini menerima calon yang secara hukum telah resmi  diduga melakukan extraordinary crime? Dan Presiden pilihan kita pun terdiam saja, tak melakukan apapun, entah mencabut usulan atau lainnya, padahal celah hukum untuk hal tersebut dimungkinkan. Inilah drama sebenarnya. Dan kini. Barulah dia siap mencabut usulannya tersebut. Bolehkah?

Mengenai pencabutan ini, sebenarnya tidak diatur dengan detail dalam UU No. 2/2002. Pun keppres turunan dari UU ini tentang tatacara pengusulan dan lainnya belum juga muncul. Karenanya kita hanya bisa menafsirkan mengenai boleh atau tidaknya pencabutan ini pada UU No. 2/2002. Mari kita lihat kembali rumusan pasal 11 UU No. 2/2002. Pada rumusan tersebut di atas, tidak ada satupun pasal yang mewajibkan Presiden harus segera mengangkat/melantik calon yang disetujui oleh DPR. Yang ada hanyalah dalam hal ingin mengangkat dan memberhentikan Kapolri, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Kewajibannya ada pada frase adanya persetujuan tersebut, sedangkan keberadaan persetujuan tersebut tidak otomatis mewajibkan Presiden untuk mengangkat atau memberhentikan seseorang. Sama halnya dalam hal kita ingin membeli pulpen, maka kita wajib untuk memiliki uang senilai harga pulpen tersebut, namun tidak berarti apabila kita memiliki uang senilai harga pulpen tersebt, maka kita wajib membeli pulpen. Kita bisa membeli pulpen lain yang harganya lebih murah atau membeli barang lainnya yang sama nilai. Selama belum diatur selain daripada yang ditetapkan di UU No. 2/2002, seharusnya tidak ada kewajiban dari Presiden untuk mengangkat Komjen Budi Gunawan. Dalam hal ini, kita melihat bahwa posisi persetujuan DPR hanya syarat untuk mengangkat Kapolri, dan persetujuan tersebut bukan mengharuskan Presiden mengangkat Kapolri. Apabila kita berkeras persetujuan ini mengakibatkan Presiden wajib untuk mengangkat BG, bukankah itu intervensi pada diskresi Presiden?

Selanjutnya adalah, adanya pendapat yang renyah yang menyatakan kalau lebih baik dilantik, lantas nanti diberhentikan apabila tidak cocok? Menyimak ketidakefektifan apabila BG tetap dilantik dengan alasan teknis yang telah saya kemukakan sebelumnya, apakah mungkin kita akan melantik orang yang memiliki masalah cukup besar untuk menempati jabatan strategis Negara? Amatlah naïf apabila terus dilanjutkan. Dan apabila pun nanti Komjen BG dilantik menjadi Kapolri, apakah kesalahan yang sama nanti juga akan terjadi pada pemberhentian BG mengingat harus adanya alasan yang sah pada pemberhentian Kapolri vide Pasal 11 ayat (2) jo. Penjelasan Pasal 11 ayat (2)? Apakah yakin BG tidak akan melawan mengingat sekarang saja kuasa hukumnya sesumbar akan menggugat jokowi bila BG tidak dilantik? Think about it.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun