Yang lebih tepat dilakukan adalah pendekatan berbasis teknologi. Saat ini, dengan kecanggihan big data dan kecerdasan buatan, lembaga keuangan dan aparat penegak hukum seharusnya bisa mendeteksi pola transaksi mencurigakan secara akurat. Ada algoritma untuk mengenali transfer berulang, transaksi di jam tidak wajar, koneksi antar rekening yang saling berkaitan, dan sebagainya. Pendekatan ini lebih selektif, berbasis data, dan minim risiko salah sasaran.
Rekening bank adalah bagian dari hak ekonomi warga negara. Negara tidak boleh membekukannya hanya karena asumsi, tanpa proses hukum yang adil. Bahkan dalam kasus dugaan pelanggaran pun, pemilik rekening berhak mendapatkan informasi, ruang klarifikasi, dan jalur pemulihan. Ini bukan sekadar soal teknis perbankan, tapi soal penghormatan terhadap hak asasi ekonomi.
Oleh karena itu, kebijakan ini perlu segera dievaluasi. Ada tiga hal mendesak yang harus dilakukan. Pertama, PPATK perlu menjelaskan dasar data dan analisis di balik kebijakan tersebut, termasuk evaluasi atas efektivitasnya. Kedua, pemanfaatan teknologi analisis transaksi harus menjadi andalan utama, bukan sekadar menghitung durasi pasif rekening. Ketiga, masyarakat harus dijamin haknya untuk tahu, mengklarifikasi, dan mendapatkan perlindungan jika mereka tidak bersalah.
Kepercayaan publik terhadap sistem keuangan adalah modal penting dalam pembangunan ekonomi. Ketika kepercayaan itu terganggu, konsekuensinya tidak hanya pada transaksi, tapi pada legitimasi negara itu sendiri.
Mencegah kejahatan adalah keharusan. Tapi melindungi warga yang jujur adalah prinsip. Kebijakan publik yang baik harus mampu melakukan keduanya, dengan proporsional, cerdas, dan transparan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI