Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Perempuan Kuat di Tengah Kebisingan Budaya

10 Juli 2025   07:36 Diperbarui: 10 Juli 2025   07:36 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto oleh Ketut Subiyanto dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/cinta-kasih-rasa-sayang-wanita-4474036/ 

Ada masa di mana kita tahu mana benar mana salah, tanpa harus membuka kamus atau bertanya pada algoritma. Masa ketika luka disebut luka, bukan ekspresi diri. Ketika ketidaksopanan tidak perlu dijelaskan ulang dengan kata-kata “pemberdayaan”. Hari ini, batas-batas itu digerus. Bukan oleh perang atau penjajahan fisik, melainkan oleh narasi-narasi halus yang menggeser makna dengan santai namun sistematis.

Budaya modern dengan kecepatan informasi dan kuasa media sosialnya, telah menjadi pabrik redefinisi makna. Dan salah satu yang paling terdampak adalah perempuan. Narasi yang menyasar perempuan begitu lihai: terdengar membebaskan, padahal memenjarakan; tampak mencerahkan, tapi justru membingungkan. Seorang wanita dalam sebuah video viral menyuarakan hal ini dengan lantang: bahwa banyak perempuan hari ini merasa kosong, letih, dan mati rasa bukan karena mereka rusak, tapi karena mereka mengikuti peta yang salah, peta yang mereka kira petunjuk kebahagiaan.

Mari kita periksa bagaimana redefinisi ini bekerja, lewat contoh-contoh yang akrab dengan keseharian perempuan modern, baik di Barat maupun dalam konteks Indonesia.

Pertama, perceraian. Dulu dianggap aib, luka keluarga, dan keputusan pahit yang hanya diambil setelah semua jalan ditempuh. Kini dipoles menjadi It’s just a part of life,bagian dari hidup. Di Indonesia, sering kita dengar kalimat seperti “sudah takdirnya” atau “jalan terbaik”, ungkapan yang terkesan pasrah namun juga melegalkan keputusan tanpa introspeksi mendalam. Bukan berarti semua perceraian salah. Tapi ketika masyarakat mulai menganggap perceraian sebagai tren atau pencapaian, kita patut bertanya: apakah ini kemajuan atau kehilangan arah?

Kedua, Overweight (Kelebihan berat badan). Dulu dipandang sebagai masalah kesehatan, sinyal agar seseorang mulai menjaga pola hidup. Sekarang disebut More to love, “lebih banyak untuk dicintai”, bahkan di Indonesia kerap dibungkus dengan pujian basa-basi seperti “montok”, “subur”, atau “lebih berisi” yang konon jadi daya tarik tersendiri. Di beberapa budaya lokal, ini bahkan dianggap tanda kemakmuran. Tapi cinta sejati terhadap tubuh tidak boleh dilepaskan dari perawatan dan disiplin, bukan sekadar penerimaan buta.

Ketiga, No Responsibility (ketiadaan tanggung jawab). Dulu disebut tidak dewasa, tidak bisa diandalkan. Kini dibungkus sebagai Freedom! , kebebasan, “hidup itu pilihan”, atau “santuy aja”. Narasi ini tampak ramah, padahal membebaskan seseorang dari akuntabilitas. Perempuan yang menolak beban peran, menolak keterlibatan dalam keluarga atau komunitas, disebut sebagai kuat dan independen. Padahal kekuatan sejati bukanlah kabur dari tanggung jawab, melainkan keberanian menanggungnya dengan tulus.

Keempat, budaya kencan bebas (hookup culture). Apa yang dulu disebut pergaulan bebas, dengan segala konsekuensi emosional, psikologis, bahkan spiritual, kini dikemas dalam istilah empowerment atau open minded. Di Indonesia, narasi ini juga mulai merebak di kalangan muda, yang menganggap hubungan kasual sebagai “hak asasi”, padahal sering berujung pada keterikatan emosional yang tak tuntas dan luka batin yang tersembunyi.

Kelima, mengekspos tubuh secara berlebihan. Dalam budaya kita, menjaga aurat atau kesopanan berpakaian adalah bagian dari kehormatan. Tapi kini, memperlihatkan tubuh dianggap sebagai “ekspresi diri”, body positivity, atau “percaya diri”. Semangat mencintai diri seolah hanya bisa diwujudkan dengan membuka pakaian, bukan dengan merawat tubuh atau menjaga martabat. Perempuan dipuji bukan karena pikirannya, tapi karena keberaniannya menanggalkan lapisan, secara literal maupun simbolik.

Lima redefinisi ini bukan sekadar soal kata. Ia membentuk realitas. Dalam teori framing, media atau budaya bisa membentuk persepsi publik dengan mengatur bagaimana sesuatu diceritakan. Ketika narasi baru ini diputar terus-menerus, di film, iklan, TikTok, bahkan seminar motivasi, maka batas antara kebenaran dan kebohongan mulai kabur. Orang mulai ragu pada moralitas mereka sendiri. Dan perempuan, yang sejak lama menjadi penjaga nilai dalam rumah dan komunitas, justru menjadi yang paling dibingungkan.

Namun, di tengah kabut makna ini, masih ada pilihan.

“Kita tak perlu sempurna, tapi harus kuat.”

Kekuatan bukan datang dari pemberontakan terhadap nilai lama, tapi dari kebijaksanaan memilah mana nilai yang perlu dipertahankan dan mana yang perlu disesuaikan. Perempuan hari ini punya kebebasan, tapi juga punya tanggung jawab untuk tidak larut dalam kebisingan yang dikira kebebasan itu sendiri.

Kita perlu kembali pada akar: tubuh yang sehat, jiwa yang jernih, dan pikiran yang kritis. Perempuan yang kuat bukan hanya yang bisa tampil percaya diri, tapi yang berani berenang melawan arus saat arus itu menyesatkan. Ia tak harus menolak semua hal modern, tapi juga tidak boleh menelan semua yang viral. Ia adalah penjaga nurani, bukan sekadar pengikut tren.

Dalam budaya yang gemar mengaburkan makna, memilih untuk berpegang pada kebenaran adalah tindakan revolusioner. Dalam dunia yang mendorong perempuan untuk menjadi segalanya kecuali dirinya sendiri, perempuan yang sadar akan jati dirinya akan menonjol, bukan karena tampil mencolok, tapi karena ia tahu arah. Ia bukan hanya penyintas dari kekacauan budaya, tapi penata ulang peradaban.

Dan bila perempuan bisa melakukan itu, ia bukan hanya menyelamatkan dirinya. Ia menyelamatkan generasi. Ia menjadi api kecil di tengah padamnya cahaya nilai, tempat anak-anaknya belajar kembali arti menjadi manusia,dalam dunia yang mengangkat kebohongan dengan megafon.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun