Ada masa di mana kita tahu mana benar mana salah, tanpa harus membuka kamus atau bertanya pada algoritma. Masa ketika luka disebut luka, bukan ekspresi diri. Ketika ketidaksopanan tidak perlu dijelaskan ulang dengan kata-kata “pemberdayaan”. Hari ini, batas-batas itu digerus. Bukan oleh perang atau penjajahan fisik, melainkan oleh narasi-narasi halus yang menggeser makna dengan santai namun sistematis.
Budaya modern dengan kecepatan informasi dan kuasa media sosialnya, telah menjadi pabrik redefinisi makna. Dan salah satu yang paling terdampak adalah perempuan. Narasi yang menyasar perempuan begitu lihai: terdengar membebaskan, padahal memenjarakan; tampak mencerahkan, tapi justru membingungkan. Seorang wanita dalam sebuah video viral menyuarakan hal ini dengan lantang: bahwa banyak perempuan hari ini merasa kosong, letih, dan mati rasa bukan karena mereka rusak, tapi karena mereka mengikuti peta yang salah, peta yang mereka kira petunjuk kebahagiaan.
Mari kita periksa bagaimana redefinisi ini bekerja, lewat contoh-contoh yang akrab dengan keseharian perempuan modern, baik di Barat maupun dalam konteks Indonesia.
Pertama, perceraian. Dulu dianggap aib, luka keluarga, dan keputusan pahit yang hanya diambil setelah semua jalan ditempuh. Kini dipoles menjadi It’s just a part of life,bagian dari hidup. Di Indonesia, sering kita dengar kalimat seperti “sudah takdirnya” atau “jalan terbaik”, ungkapan yang terkesan pasrah namun juga melegalkan keputusan tanpa introspeksi mendalam. Bukan berarti semua perceraian salah. Tapi ketika masyarakat mulai menganggap perceraian sebagai tren atau pencapaian, kita patut bertanya: apakah ini kemajuan atau kehilangan arah?
Kedua, Overweight (Kelebihan berat badan). Dulu dipandang sebagai masalah kesehatan, sinyal agar seseorang mulai menjaga pola hidup. Sekarang disebut More to love, “lebih banyak untuk dicintai”, bahkan di Indonesia kerap dibungkus dengan pujian basa-basi seperti “montok”, “subur”, atau “lebih berisi” yang konon jadi daya tarik tersendiri. Di beberapa budaya lokal, ini bahkan dianggap tanda kemakmuran. Tapi cinta sejati terhadap tubuh tidak boleh dilepaskan dari perawatan dan disiplin, bukan sekadar penerimaan buta.
Ketiga, No Responsibility (ketiadaan tanggung jawab). Dulu disebut tidak dewasa, tidak bisa diandalkan. Kini dibungkus sebagai Freedom! , kebebasan, “hidup itu pilihan”, atau “santuy aja”. Narasi ini tampak ramah, padahal membebaskan seseorang dari akuntabilitas. Perempuan yang menolak beban peran, menolak keterlibatan dalam keluarga atau komunitas, disebut sebagai kuat dan independen. Padahal kekuatan sejati bukanlah kabur dari tanggung jawab, melainkan keberanian menanggungnya dengan tulus.
Keempat, budaya kencan bebas (hookup culture). Apa yang dulu disebut pergaulan bebas, dengan segala konsekuensi emosional, psikologis, bahkan spiritual, kini dikemas dalam istilah empowerment atau open minded. Di Indonesia, narasi ini juga mulai merebak di kalangan muda, yang menganggap hubungan kasual sebagai “hak asasi”, padahal sering berujung pada keterikatan emosional yang tak tuntas dan luka batin yang tersembunyi.
Kelima, mengekspos tubuh secara berlebihan. Dalam budaya kita, menjaga aurat atau kesopanan berpakaian adalah bagian dari kehormatan. Tapi kini, memperlihatkan tubuh dianggap sebagai “ekspresi diri”, body positivity, atau “percaya diri”. Semangat mencintai diri seolah hanya bisa diwujudkan dengan membuka pakaian, bukan dengan merawat tubuh atau menjaga martabat. Perempuan dipuji bukan karena pikirannya, tapi karena keberaniannya menanggalkan lapisan, secara literal maupun simbolik.
Lima redefinisi ini bukan sekadar soal kata. Ia membentuk realitas. Dalam teori framing, media atau budaya bisa membentuk persepsi publik dengan mengatur bagaimana sesuatu diceritakan. Ketika narasi baru ini diputar terus-menerus, di film, iklan, TikTok, bahkan seminar motivasi, maka batas antara kebenaran dan kebohongan mulai kabur. Orang mulai ragu pada moralitas mereka sendiri. Dan perempuan, yang sejak lama menjadi penjaga nilai dalam rumah dan komunitas, justru menjadi yang paling dibingungkan.
Namun, di tengah kabut makna ini, masih ada pilihan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!