Akar dari semua ini adalah cara berpikir yang menempatkan manusia sebagai pusat, dan alam sebagai objek. Padahal dalam filsafat lingkungan, terutama dalam pendekatan ekosentrisme, manusia hanyalah bagian dari sistem kehidupan yang lebih besar. Menambang di Raja Ampat bukan sekadar soal izin, cadangan, atau potensi ekonomi. Itu adalah pertaruhan terhadap keberlanjutan kehidupan. Kita bisa cari nikel di tempat lain, tapi kita hanya punya satu Raja Ampat.
Barangkali inilah waktunya kita menata ulang cara berpikir tentang pembangunan. Bahwa kekayaan bukan hanya hasil tambang yang diekspor, melainkan stabilitas ekosistem yang menopang hidup generasi ke generasi. Bahwa kemajuan bukan diukur dari PDB semata, melainkan dari keadilan ekologis, kesejahteraan sosial, dan martabat manusia yang menjaga tanahnya sendiri.
Ketika kita melihat Raja Ampat, jangan hanya lihat pasir putih dan laut biru. Lihatlah masa depan yang bisa diwariskan. Lihatlah suara-suara yang menolak tambang bukan sebagai perlawanan, tapi sebagai penjaga warisan dunia. Karena negeri ini terlalu besar untuk berpikir pendek, dan terlalu kaya untuk jadi miskin karena kesalahan sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI