Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Raja Ampat Bukan Untuk Digadai

23 Juni 2025   11:42 Diperbarui: 23 Juni 2025   11:45 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://travel.kompas.com/read/2021/04/15/060600527/raja-ampat-masuk-dalam-pengembangan-destinasi-wisata-prioritas

Pernahkah kita duduk di tepian laut yang jernih, menyaksikan ikan-ikan bermain di sela karang, lalu membayangkan suara mesin bor menggantikan nyanyian laut? Raja Ampat adalah salah satu tempat di bumi di mana imajinasi seperti itu bukan sekadar distopia, melainkan kemungkinan yang tengah diupayakan dengan penuh dalih. Sebuah tempat yang diakui sebagai surga biodiversitas dunia, kini menjadi objek kalkulasi ekonomi yang sempit dan, ironisnya, diklaim sebagai jalan keluar dari kemiskinan.

Dalih itu datang dari banyak arah. Beberapa memakai jubah keilmuan, sebagian lagi bersandar pada jargon realisme dan pembangunan. Ada pula yang menyandarkan diri pada logika keadilan, katanya demi masyarakat Papua. Namun sayangnya, jika kita kupas satu per satu, sebagian besar argumen tersebut dibangun di atas sesat pikir yang rapuh, retoris, dan kerap menyembunyikan kepentingan yang tak pernah benar-benar berakar pada kesejahteraan rakyat.

Salah satu bentuk sesat pikir yang sering muncul adalah menyederhanakan pihak yang menolak tambang sebagai aktivis lingkungan yang anti kemajuan. Ini adalah bentuk strawman fallacy klasik, menyerang karakter karikatural dari lawan debat, bukan substansinya. Faktanya, penolakan terhadap pertambangan di Raja Ampat tidak lahir dari sekadar romantisme ekologis, melainkan dari pertimbangan ekonomi jangka panjang, perhitungan sosial, dan warisan lintas generasi. Menolak tambang bukan berarti menolak pembangunan, tapi menolak cara berpikir yang mengorbankan masa depan demi hasil instan.

Lucunya, mereka yang mendukung tambang kerap memaksakan dikotomi palsu. Seolah hanya ada dua pilihan: pembangunan ekonomi melalui pertambangan, atau stagnasi dengan konservasi. Padahal dunia telah berkembang. Ekowisata, perikanan berkelanjutan, dan jasa lingkungan kini terbukti menghasilkan nilai ekonomi yang stabil, berkelanjutan, dan merata. Tidak perlu jauh-jauh, Raja Ampat sendiri telah menunjukkan itu. Jumlah wisatawan meningkat signifikan dari tahun ke tahun, menandakan pertumbuhan eksponensial yang jika dikelola baik akan menjadi sumber kemakmuran kolektif, bukan hanya segelintir elite.

Namun semua itu sering tak terdengar karena masyarakat kita diajak untuk berpikir pendek. Sesat pikir discounting the future menyelinap lewat narasi pragmatis: "Kita butuh pekerjaan sekarang," atau "kita harus realistis." Padahal realisme sejati adalah memperhitungkan seluruh biaya dan manfaat, termasuk risiko jangka panjang. Ketika cadangan tambang habis dalam dua dekade, lubang-lubang bekas galian dan ekosistem yang rusak akan menjadi beban generasi berikutnya. Sementara manfaat jangka pendek sering kali justru tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar, melainkan oleh pusat dan vendor asing.

Yang lebih ironis, beberapa pendukung tambang bahkan menyandingkan Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai indikator kemakmuran. Ini kesalahan konseptual yang fatal. DBH adalah dana kompensasi atas eksploitasi sumber daya, bukan cerminan produktivitas ekonomi lokal. Padahal indikator kesejahteraan lokal adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang menunjukkan sejauh mana masyarakat bisa menghasilkan ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan. Menyamakan DBH dengan PAD seperti menyamakan uang ganti rugi rumah yang dihancurkan dengan hasil dari usaha sendiri. Keduanya sangat berbeda, baik dari sumber, sifat, maupun dampaknya.

Dalam logika pembangunan berkelanjutan, kita mengenal konsep nilai sekarang bersih (Net Present Value) dan tingkat diskonto antar-generasi. Konservasi, bila dilihat dalam horizon waktu panjang, menghasilkan nilai ekonomi total yang jauh lebih tinggi dibandingkan eksploitasi yang cepat namun mengorbankan masa depan. Raja Ampat, dengan reputasi konservasi globalnya, memiliki potensi besar untuk masuk dalam mekanisme pasar karbon, ekowisata, dan jasa lingkungan lainnya yang kini menjadi primadona dalam negosiasi iklim internasional. Jika kawasan seperti ini rusak, maka Indonesia kehilangan posisi tawar globalnya, dan celah untuk menciptakan pembangunan hijau pun tertutup.

Ada juga argumen yang mengklaim bahwa tambang di Raja Ampat sudah memenuhi prinsip good mining practice. Namun jika kita mengacu pada standar internasional, sangat jelas bahwa banyak hal yang dilanggar. Mulai dari tidak dipenuhinya prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), pelanggaran terhadap aturan pulau kecil, hingga jarak tambang yang terlalu dekat dengan kawasan konservasi laut. Norwegia, misalnya, menetapkan jarak minimal 50 km untuk tambang dari kawasan laut sensitif. Sedangkan di Raja Ampat, radius 5 km pun masih dianggap layak ditambang. Ini bukan sekadar perbedaan standar, tapi cerminan cara pandang yang meletakkan alam sebagai obyek eksploitatif semata.

Bila kita jujur bertanya, "daerah bekas tambang mana yang betul-betul pulih ekosistemnya?" Maka jawabannya akan lebih banyak sunyi daripada data. Restorasi ekologis di daerah tambang bukan hanya mahal dan rumit, tapi seringkali gagal. Dan sementara tambang bersifat padat modal dan minim tenaga kerja, sektor konservasi dan pariwisata justru menggerakkan ekonomi rakyat. Uang dari turis berputar ke warung, penginapan rakyat, penyewaan perahu, dan produk lokal. Di tambang, uang justru mengalir ke luar daerah, ke vendor impor, dan ke pusat kekuasaan yang jauh dari masyarakat lokal.

Sayangnya, ini semua dibungkus dalam bahasa pembangunan. Bahkan ada ASN yang menyebut penolak tambang sebagai "SDM rendah yang mudah terprovokasi." Lucu, karena banyak dari penolak tambang adalah peneliti, akademisi, aktivis konservasi, dan masyarakat adat yang hidup langsung dari laut. Jika suara mereka dianggap sebagai kebodohan, maka sesungguhnya kita sedang memuja pembangunan dengan menginjak nalar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun