Di tengah sorotan terhadap Kalimantan sebagai poros pembangunan nasional baru, muncul satu suara yang terdengar jernih di antara gegap gempita proyek infrastruktur: suara yang menyuarakan keadilan dalam pendidikan. Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas'ud, dalam sebuah seminar nasional, mengusulkan agar kampus unggulan seperti Institut Teknologi Bandung membuka kelas khusus di Kalimantan Timur. Tapi ia tidak ingin anak-anak Borneo harus hijrah ke Jawa. "Dosen-dosennya yang ke Kalimantan Timur," katanya dengan penekanan yang sangat bermakna.
Pernyataan itu tidak berhenti pada urusan teknis pendidikan jarak jauh. Ia mengandung pesan yang lebih besar, tentang bagaimana pembangunan seharusnya tidak lagi berpusat di Pulau Jawa, dan tentang cara kita harus menyusun ulang strategi agar Kalimantan tidak jatuh ke lubang sejarah yang sama: menjadi tanah yang habis disedot sumber daya alamnya, tapi tidak pernah tumbuh manusianya.
Saya pernah ke Batu Ampar, Kalimantan Barat. Sebuah daerah yang dulu menjadi salah satu simpul kejayaan industri kayu di Kalimantan. Hutan-hutannya membentang luas, dan kayu bulat keluar dari perut bumi seperti tiada habisnya. Tongkang-tongkang hilir mudik membawa hasil alam ke kota-kota besar, truk pengangkut log tidak pernah tidur, dan uang mengalir deras dalam waktu singkat. Tapi semua itu seperti mimpi yang berakhir tanpa rencana bangun. Kejayaan yang datang mendadak, pergi tanpa bekas yang berarti.
Hari ini, Batu Ampar tinggal kenangan. Hutan sudah tak ada, alam rusak, dan generasi mudanya berdiri di tengah kekosongan. Tidak ada sistem yang menjamin keberlanjutan, tidak ada upaya membangun keterampilan, tidak ada lembaga pendidikan tinggi yang bertahan. Kekayaan kayu itu tak menjelma jadi kekuatan manusia. Sumber daya alam itu habis begitu saja, dan yang tersisa adalah ruang hampa yang diam-diam menyesakkan.
Batu Ampar adalah cermin dari apa yang terjadi jika pembangunan hanya berbasis eksploitasi, bukan edukasi. Ia adalah contoh nyata dari kutukan sumber daya alam, ketika kekayaan membuat kita lalai membangun daya pikir. Ketika hasil bumi dijual cepat tapi ilmu tidak pernah ditanam. Ketika kesibukan menebang tidak diimbangi dengan kesungguhan mendidik.
Inilah yang harus dihindari Kalimantan Timur. Jangan sampai kekayaan alam yang luar biasa di provinsi ini hanya menjadi ladang pengurasan yang cepat mengering, sementara generasi muda kehilangan kesempatan mengembangkan diri. Di sinilah pentingnya gagasan bahwa bukan mahasiswa yang harus meninggalkan tanah kelahirannya untuk mencari ilmu di Jawa, melainkan dosen dan guru besar yang datang ke sini, membuka kelas, membangun laboratorium, menginspirasi, dan menciptakan ekosistem pendidikan yang berkelanjutan.
Kehadiran institusi pendidikan kelas dunia seperti ITB atau Universitas Padjadjaran di Kalimantan Timur bukan sekadar simbol kemajuan, tapi juga strategi menghadirkan keadilan sosial dan memperkuat ikatan budaya serta sosial masyarakat setempat. Dengan program Gratispol yang membiayai pendidikan hingga tingkat doktoral, pemerintah provinsi telah menunjukkan komitmen yang serius. Namun komitmen itu akan lebih bermakna jika diikuti oleh kehadiran fisik pengajar dan riset yang dekat dengan masyarakat.
Karena pendidikan bukan hanya soal biaya, tapi soal akses, soal rasa memiliki, dan soal kontinuitas pengetahuan yang mengakar kuat di tanah sendiri. Anak-anak Kalimantan yang belajar di kampus besar di Jawa kerap kali terjerat oleh arus urbanisasi yang mengikis ikatan mereka dengan asal-usul. Mereka tumbuh di kota besar, beradaptasi dengan budaya metropolitan, dan tak jarang tidak kembali. Akibatnya, Kalimantan kehilangan potensi besar sebagai sumber pemimpin masa depan.
Jika dosen dan akademisi hadir langsung di Kalimantan, maka ilmu tidak lagi menjadi barang mahal yang hanya bisa diraih dengan meninggalkan kampung halaman. Ilmu menjadi bagian dari napas sehari-hari masyarakat, yang kemudian akan membentuk SDM unggul yang mampu berinovasi, mengelola sumber daya alam secara lestari, dan menempatkan Kalimantan pada peta peradaban modern yang berwawasan lingkungan dan berkeadilan sosial.
Membangun manusia adalah kunci agar Kalimantan tidak terjebak dalam kutukan sumber daya alam yang sering melanda daerah-daerah kaya tapi miskin SDM. Kayu, batu bara, minyak, dan gas akan habis suatu saat nanti, tapi kecerdasan, inovasi, dan jiwa kepemimpinan yang tumbuh di bumi ini akan menjadi modal tak ternilai harganya. Jangan sampai sejarah Batu Ampar terulang lagi. Jangan sampai Kalimantan Timur hanya menjadi penonton dalam cerita kekayaan yang habis tanpa bekas.