Di Jepang, seekor kata bisa menjatuhkan seorang pejabat. Di Indonesia, bahkan segunung kesalahan tak selalu cukup untuk menggoyang kursi kekuasaan. Baru-baru ini, Taku Eto, Menteri Pertanian Jepang, mengundurkan diri hanya karena bercanda soal beras di tengah krisis pangan. Sebuah kalimat ringan yang dilontarkannya dalam acara penggalangan dana politik menjadi senjata makan tuan, dihujat publik, ditegur perdana menteri, dimarahi istri, dan akhirnya membuatnya meletakkan jabatan. Semua itu terjadi dalam tempo yang nyaris secepat kecepatan naiknya harga beras yang ia jadikan bahan candaan.
Jika peristiwa itu terjadi di Indonesia, barangkali respons publik hanya akan sebatas meme, guyonan receh, atau mungkin sekadar dibalas dengan sindiran: "Namanya juga manusia, siapa sih yang nggak pernah salah?" Yang lebih mungkin, justru sang pejabat akan tetap bertahan, melakukan klarifikasi, sedikit tersenyum di hadapan media, dan kemudian kembali bekerja seperti biasa. Tidak ada konsekuensi berarti, tidak ada pemaknaan mendalam atas makna tanggung jawab jabatan.
Taku Eto bukan satu-satunya pejabat Jepang yang mundur karena blunder. Negeri sakura itu punya budaya malu yang dalam, ditopang oleh etika bushido yang masih meresap dalam kehidupan modern. Ketika seorang pejabat gagal memenuhi ekspektasi publik atau bahkan hanya dianggap tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat, pilihan mundur bukan dilihat sebagai kekalahan, tapi sebagai bentuk penghormatan. Kehormatan, dalam konteks ini, bukan hanya soal nama baik pribadi, tapi juga nama baik institusi yang diwakilinya. Sebuah keinsafan bahwa jabatan bukan hak milik, melainkan amanah yang bisa hilang saat kepercayaan publik memudar.
Bandingkan dengan Indonesia, di mana pengunduran diri pejabat publik adalah peristiwa langka, lebih langka dari hari tanpa drama politik di linimasa. Kalaupun ada yang mundur, itu terjadi dalam konteks luar biasa. Kita mencatat hanya segelintir nama: Mohammad Hatta yang mundur sebagai Wapres tahun 1956 sebagai bentuk perlawanan etis terhadap kecenderungan otoriter Presiden Soekarno. Atau Djoko Sasono, Dirjen Perhubungan Darat, yang tahun 2015 mundur karena merasa gagal mengantisipasi kemacetan parah saat Natal dan Tahun Baru. Lalu ada Sigit Priadi Pramudito, Dirjen Pajak, yang mundur karena tak mencapai target penerimaan pajak. Bahkan Ketua DPRD Lumajang, Anang Akhmad Syaifuddin, juga sempat mundur karena salah ucap sila Pancasila di hadapan mahasiswa.
Namun, dari semua contoh itu, kita bisa melihat bahwa sikap mundur di Indonesia lebih mirip pengecualian daripada kebiasaan. Budaya tanggung jawab moral belum tumbuh menjadi refleks. Yang berkembang justru budaya apologi: "Itu hanya salah paham," "Itu konteksnya berbeda," atau "Itu hanya guyon." Kata-kata ini menjadi benteng pelindung para pejabat dari badai kritik. Bahkan ketika kegagalan sudah nyata di depan mata, proyek mangkrak, anggaran bocor, program gagal, layanan publik amburadul, yang terjadi sering kali adalah pengalihan isu, bukan pengunduran diri.
Yang lebih menyedihkan, kita sebagai publik pun seolah telah menjadi terbiasa dengan standar rendah ini. Kita menertawakan kesalahan, lalu melupakannya. Kita marah sebentar, lalu kembali ke rutinitas. Seolah integritas tidak lagi menjadi syarat utama seorang pejabat, melainkan hanya tambahan opsional yang bisa diganti dengan popularitas, kedekatan politik, atau pencitraan di media sosial.
Dalam situasi seperti ini, pengunduran diri seorang menteri di Jepang terasa seperti dongeng dari negeri utopia. Tapi justru di situlah letak ironi sekaligus pelajaran. Bahwa standar etika di ruang kekuasaan bukan sesuatu yang mustahil, bukan pula produk budaya semata. Ia bisa dibangun, dipelihara, dan dijadikan norma jika kita semua, baik pejabat maupun rakyat, menjadikan kepercayaan publik sebagai kompas moral.
Ketika seorang menteri mundur karena bercanda di waktu yang salah, yang sesungguhnya sedang ia lakukan adalah memulihkan kepercayaan rakyat. Ia menyampaikan pesan bahwa suara publik bukan sekadar kebisingan, tapi kehendak yang harus dihormati. Ia menunjukkan bahwa jabatan bukan perisai untuk berlindung dari kesalahan, melainkan cermin yang memperlihatkan siapa kita sebenarnya.
Apa jadinya jika prinsip ini benar-benar diterapkan di Indonesia? Barangkali sebagian kursi kekuasaan akan kosong. Tapi dari kekosongan itu, kita bisa mulai membangun kembali kepercayaan yang selama ini terkikis. Kita bisa mulai menanam benih bahwa kesalahan bukan aib jika disikapi dengan berani dan rendah hati. Kita bisa mulai mengajarkan kepada generasi muda bahwa kejujuran dan integritas bukan sekadar slogan, tapi fondasi dari negara yang ingin maju.
Karena pada akhirnya, negara bukan dibangun oleh orang-orang sempurna, tapi oleh orang-orang yang tahu kapan mereka salah dan berani bertanggung jawab.