Di tengah kehancuran moral dan merosotnya disiplin di Eastside High, sebuah sekolah negeri di Paterson, New Jersey, muncul sosok yang tidak biasa. Namanya Joe Clark, seorang mantan instruktur militer yang kemudian ditunjuk sebagai kepala sekolah. Film Lean on Me (1989), yang disutradarai John G. Avildsen dan dibintangi Morgan Freeman, mendramatisasi perjalanan Clark dalam membenahi sekolah penuh kekacauan itu. Dalam minggu pertamanya saja, ia mengeluarkan 300 siswa yang terlibat narkoba, kekerasan, dan penghinaan terhadap guru. Bukan sebagai tindakan balas dendam, tapi sebagai pesan tegas: sekolah bukan tempat main-main.
Clark tidak percaya bahwa proses belajar akan berjalan baik tanpa disiplin. "Every day, pride in self and school must be reinforced. Every day, the value of academics must be demonstrated," katanya. Ia mengunci pintu-pintu sekolah dari dalam untuk mencegah pengedar narkoba masuk. Ia mencoret graffiti dengan tangannya sendiri. Ia mencaci siswa yang bermalas-malasan, tapi di saat yang sama, ia juga menyanyikan lagu kebangsaan bersama mereka. Clark menyentuh mereka dengan cara yang tidak diajarkan di sekolah pendidikan guru mana pun: dengan konfrontasi, kepercayaan, dan cinta yang tidak sentimental.
Di tengah sorotan media, Clark dikritik oleh banyak kalangan. Otoriter. Tak manusiawi. Menghina proses demokrasi dalam pendidikan. Namun hasilnya tak bisa dibantah: dalam dua tahun, Eastside berubah drastis. Sekolah yang pernah disebut "zona perang" oleh pers lokal dinyatakan sebagai model oleh Gubernur New Jersey. Clark menjadi cover story Time Magazine, diwawancarai 60 Minutes, bahkan ditawari posisi penasihat kebijakan oleh Presiden Ronald Reagan, yang ia tolak.
Apa yang membuat pendekatan keras semacam itu diperlukan? Jawabannya mungkin sama dengan yang kita lihat hari ini di Indonesia. Ketika sistem nilai runtuh, keluarga menyerah, dan institusi pendidikan tak lagi berdaya, dibutuhkan tindakan yang, di atas kertas, terlihat tidak demokratis, tapi justru menyelamatkan.
Itulah yang tampaknya dipahami oleh Dedi Mulyadi. Mantan Bupati Purwakarta ini bukanlah pendidik formal, tetapi kepekaannya terhadap pendidikan karakter melebihi banyak pejabat kementerian. Dalam beberapa tahun terakhir, publik melihat sepak terjangnya melalui video-video yang viral. Ia mendatangi anak-anak yang viral karena tindakan brutal, mulai dari menantang guru hingga menyiksa teman sekolah. Alih-alih mencaci mereka di media sosial seperti banyak orang dewasa lainnya, Dedi memilih bertemu langsung. Ia ajak bicara, ia dengar cerita mereka, dan ia tantang rasa malu serta harga diri mereka.
Namun, yang sering luput dari pemberitaan adalah satu hal: pengiriman anak-anak itu ke pelatihan kedisiplinan militer bukanlah keputusan sepihak. Ia tidak menyeret mereka secara paksa ke barak pelatihan. Justru orang tua merekalah yang meminta, setelah mengakui bahwa mereka sudah tidak sanggup mendidik anak di rumah. Sekolah pun banyak yang angkat tangan. Lingkungan sekitar, alih-alih menjadi tempat tumbuh, malah menjadi habitat kenakalan itu sendiri. Di situlah Dedi masuk, bukan sebagai penghukum, tetapi sebagai mediator antara kehendak orang tua dan harapan masa depan anak.
Dalam konteks ini, pendekatan tough love, kasih yang keras, bukanlah bentuk kekerasan, melainkan bentuk tertinggi dari perhatian. Pendidikan, sebagaimana didefinisikan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, seharusnya membebaskan. Tapi pembebasan itu tidak akan terjadi bila siswa masih terbelenggu oleh budaya destruktif yang terus direproduksi oleh lingkungan. Dalam situasi seperti itu, seorang pendidik sejati kadang harus melawan arus. Melanggar prosedur. Melampaui protokol. Dan dalam batas tertentu, menantang tafsir umum tentang demokrasi.
Sayangnya, banyak yang tidak nyaman dengan pendekatan semacam ini. Komisi-komisi yang selama ini diam ketika kekerasan terjadi di sekolah, tiba-tiba muncul dengan statemen normatif: bahwa pendidikan harus ramah anak, bahwa pelatihan militer mengandung unsur represi, bahwa semua harus melalui proses dialog. Tapi di lapangan, dialog tak selalu tersedia. Bahkan sering, anak-anak itu tidak punya siapa pun yang mau bicara pada mereka dengan sungguh-sungguh, hingga seseorang seperti Dedi datang, bukan dengan seminar, tapi dengan pelukan dan kata-kata yang menampar kesadaran.
Kita terlalu sering terjebak pada dikotomi: keras berarti salah, lembut berarti benar. Padahal realitas sosial jauh lebih kompleks. Disiplin tidak bertentangan dengan kasih sayang. Teguran bukan berarti kekerasan. Dan intervensi tidak selalu identik dengan represi. Dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis nilai, pendekatan normatif tidak cukup. Dibutuhkan keberanian moral untuk melakukan tindakan tidak populer, bahkan jika itu berarti harus dimusuhi oleh kaum yang lebih banyak bicara daripada bekerja.