Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

QRIS dan Kedaulatan Ekonomi

25 April 2025   13:33 Diperbarui: 25 April 2025   14:18 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedaulatan, dalam banyak hal, tidak selalu diumumkan dengan parade dan deklarasi. Kadang, ia hadir dalam senyap, sebuah sistem yang berjalan lancar tanpa tepuk tangan, tanpa slogan, bahkan tanpa disadari oleh jutaan penggunanya. QRIS, atau Quick Response Code Indonesian Standard, adalah salah satu bentuk kedaulatan itu. Ia bukan revolusi yang berisik. Ia bukan disruptor yang gila publisitas. Tapi ia adalah jalan sunyi yang ditempuh Indonesia ketika memutuskan untuk tidak lagi menari mengikuti irama sistem global yang hanya berpihak pada yang kuat.

Diciptakan oleh Bank Indonesia pada 2019, QRIS hadir dari sebuah kegelisahan: sistem pembayaran digital kita terfragmentasi, membingungkan, dan membuat inklusi keuangan menjadi impian yang mahal. Setiap dompet digital punya QR code sendiri. Setiap bank punya standarnya masing-masing. Untuk rakyat kecil, itu berarti satu lagi lapisan keruwetan yang menghalangi mereka dari akses terhadap sistem formal. Maka, QRIS lahir. Sebuah solusi yang sederhana tapi jenius: satu QR code untuk semuanya. Interoperabilitas bukan hanya slogan; ia menjadi realitas sehari-hari, dari pasar tradisional di Yogyakarta hingga warung kopi di Medan.

Tapi jangan keliru. QRIS bukan sekadar soal teknologi. Ia adalah pernyataan. Sebuah pengakuan bahwa kita tidak perlu sistem dari luar untuk bisa maju. Bahwa kita bisa membangun rel kita sendiri, bukan sekadar menumpang di kereta ekspres buatan Barat yang mahal ongkosnya dan tidak berhenti di stasiun-stasiun kecil tempat rakyat kita menunggu.

Dan seperti setiap pernyataan kedaulatan, akan selalu ada yang tidak senang. Dalam laporan terbaru dari United States Trade Representative (USTR) tahun 2025, QRIS dituding sebagai "barrier to market access", penghalang bagi perusahaan asing untuk bersaing secara adil. Tapi "adil" versi siapa? Karena dalam praktiknya, justru QRIS-lah yang membuka akses terbesar sepanjang sejarah bagi jutaan pelaku usaha mikro di Indonesia. Warung yang dulu hanya menerima tunai, kini bisa menerima pembayaran digital tanpa mesin EDC, tanpa fee 3%, tanpa harus tunduk pada sistem global yang hanya melayani korporasi besar.

Ironisnya, saat negara-negara maju memuji inovasi, mereka keberatan ketika inovasi datang dari Selatan Dunia. Ketika India meluncurkan UPI, Brasil dengan PIX, dan Indonesia dengan QRIS, responsnya bukan tepuk tangan, melainkan sanksi dan tudingan. Seolah-olah, inovasi hanya boleh datang dari Silicon Valley. Seolah-olah, sistem pembayaran yang tidak memberi ruang bagi Visa dan Mastercard adalah ancaman yang lebih besar dari perang dagang atau ketimpangan global.

Inilah bentuk kolonialisme baru: bukan melalui senjata, tapi lewat sistem. Lewat dominasi standar global yang katanya netral, padahal dirancang untuk mengalirkan keuntungan ke arah yang sama, ke pusat kekuatan. Maka ketika negara berkembang mulai berkata, "Kami bisa buat sendiri," suara mereka dianggap terlalu keras. Padahal mereka hanya sedang berbicara untuk pertama kalinya dengan bahasa mereka sendiri.

QRIS bukan tanpa cela. Di daerah yang sinyalnya lemah, sistem ini belum sepenuhnya optimal. Refund bisa berbelit. Beberapa pedagang belum paham cara registrasi. Tapi semua itu adalah luka pertumbuhan, bukan cacat lahir. Dan tak satu pun kelemahan itu mengurangi nilainya sebagai pencapaian kolektif sebuah bangsa yang sedang belajar berdiri di atas kaki sendiri.

Sayangnya, dalam politik dagang global, keberhasilan negara berkembang sering kali dianggap sebagai pelanggaran. Di dunia yang katanya menjunjung pasar bebas, realitasnya pasar hanya bebas ketika yang diuntungkan tetap sama. Maka, saat QRIS berhasil membuktikan bahwa kita bisa mandiri tanpa sistem luar, kita malah dituduh menutup diri.

Pertanyaannya: sampai kapan kita harus mengalah agar tetap "disukai"? Apakah kita harus merusak jalan tol buatan kita sendiri hanya karena ada mobil asing yang tak bisa melaju di atasnya? Apakah kita harus melepas sistem pembayaran nasional yang inklusif hanya untuk menghindari tarif ekspor tambahan dari negara adidaya?

Tidak. Sebab ini bukan sekadar soal QR code. Ini soal kedaulatan. Soal siapa yang punya hak untuk menentukan jalan ekonominya sendiri. Dan Indonesia, untuk pertama kalinya, sedang mengatakan bahwa kita bisa punya sistem yang adil, murah, dan buatan sendiri, tanpa harus minta izin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun