Taman Safari adalah tempat favorit keluarga saya. Dedaunan hijau, udara sejuk, dan suara hewan liar yang eksotis menjadi semacam terapi dari kehidupan kota yang serba cepat. Anak-anak saya tumbuh mengenali nama-nama binatang bukan hanya dari buku, tapi dari suara langsung di balik pagar kawat dan kolam buatan. Setiap kunjungan ke sana, seperti sebuah pelajaran ekologi yang hidup. Namun, siapa sangka bahwa di balik gerbang penuh poster warna-warni dan boneka hewan lucu itu, ternyata ada kisah yang jauh dari kata menyenangkan.
April 2025 membuka kotak Pandora dunia hiburan yang tak pernah kita pertanyakan sebelumnya. Sejumlah perempuan paruh baya datang ke Kementerian Hukum dan HAM, bukan sebagai penonton, melainkan sebagai korban. Mereka bukan siapa-siapa bagi publik, tak berjejak di media sosial, dan tak punya surat lahir. Namun kisah mereka lebih dalam dari sumur tua yang dilupakan, karena mereka bukan hanya pernah bekerja di Oriental Circus Indonesia (OCI), tetapi hidup di dalamnya sejak anak-anak, tanpa pilihan, tanpa nama, dan tanpa masa depan.
Penelusuran terhadap OCI membawa kita ke lorong gelap industri hiburan keliling yang dahulu dielu-elukan karena "membawa dunia" ke desa-desa. Sirkus OCI, didirikan tahun 1967 oleh Hadi Manansang, bukan sekadar tontonan biasa. Ia adalah simbol mobilitas, keceriaan, dan prestise. Anak-anak desa takjub melihat manusia terbang di udara dan harimau yang melompat lewat lingkaran api. Tapi tidak ada yang bertanya: siapa yang mengatur tali di belakang layar? Siapa yang melatih harimau itu? Siapa yang menangis diam-diam di balik tenda saat semua tertawa?
Mereka, yang kini muncul sebagai penyintas, menceritakan cerita yang tak pernah masuk buletin acara sirkus. Bahwa mereka direkrut sejak usia dini, tanpa dokumen resmi. Bahwa pukulan dan setrum adalah bagian dari "pelatihan." Bahwa mereka dipisahkan dari anaknya sendiri saat melahirkan. Bahwa ketika sakit, mereka tetap harus tampil. Bahkan ketika hamil, mereka diminta berdandan menjadi badut dan melompat. Salah satu korban menyebut bahwa mereka pernah dipaksa memakan kotoran hewan karena dianggap lambat menghafal koreografi. Ini bukan fiksi. Ini testimoni.
Yang lebih mengganggu adalah narasi bahwa mereka bahkan tidak tahu siapa nama asli mereka, dari desa mana mereka berasal, dan apakah mereka masih punya keluarga. Identitas mereka hilang di antara debu tenda dan lampu sorot panggung. Dan selama ini, tidak ada yang mencari mereka. Karena bagi kita, penonton, sirkus adalah fantasi. Kita tak diajarkan untuk peduli pada realitas yang menciptakan fantasi tersebut.
Lalu muncullah nama Taman Safari Indonesia (TSI) dalam pusaran ini. Pihak OCI pernah bekerja sama atau setidaknya memiliki kaitan sejarah dengan TSI dalam konteks pertunjukan hewan dan hiburan. Namun Tony Sumampouw, Komisaris TSI, dengan cepat mengeluarkan pernyataan: TSI dan OCI adalah entitas yang berbeda secara hukum, dan pihaknya tidak bertanggung jawab atas apapun yang dilakukan OCI di masa lalu.
Namun, masyarakat berhak bertanya: jika OCI dan TSI pernah berbagi panggung, apakah mungkin tidak ada tumpang tindih sumber daya manusia, pelatih hewan, atau bahkan para pekerja sirkus yang sama? Apakah benar tidak pernah ada kontrak, kerja sama, atau saling pengaruh antara dua nama besar itu? Bahkan jika secara legal mereka terpisah, apakah secara moral mereka bisa mencuci tangan sepenuhnya?
Kementerian HAM akhirnya memanggil TSI untuk klarifikasi. Dan tim investigasi gabungan dibentuk, melibatkan Komnas HAM dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Upaya ini mungkin telat beberapa dekade, tapi ia lebih dari sekadar langkah administratif. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa trauma tidak mengenal kadaluarsa. Bahwa korban kekerasan sistemik butuh lebih dari simpati; mereka butuh identitas, pemulihan, dan pengakuan atas luka-luka mereka.
Yang menarik, sebagian besar dari kita tak pernah benar-benar mempertanyakan dunia hiburan keliling seperti sirkus. Kita hanya melihat badut sebagai lucu, bukan sebagai topeng dari kesedihan struktural. Kita mengajak anak-anak tertawa, tanpa tahu bahwa ada anak-anak lain yang terpaksa menjadi pelawak tanpa panggung kebahagiaan. Eksploitasi anak, dalam bentuknya yang paling halus sekalipun, tetaplah kejahatan. Ketika seseorang bekerja tanpa upah, tanpa hak, tanpa pilihan, dan kehilangan jati diri, itu bukan hiburan. Itu adalah bentuk modern dari perbudakan.
Kasus ini mengingatkan kita pada debat global tentang etika dalam industri hiburan, dari Hollywood hingga Bollywood, dari sirkus jalanan hingga pertunjukan satwa. Dunia mulai menolak pertunjukan yang menggunakan hewan liar. Namun kita lupa bahwa yang perlu diselamatkan bukan hanya binatang-binatang itu, tapi juga manusia-manusia yang menjadi bagian dari "sirkus manusia" itu sendiri.