Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ramadhan Seharusnya Tidak Meninggalkan Jejak Sampah: Waktunya Berubah!

14 Maret 2025   09:20 Diperbarui: 14 Maret 2025   09:25 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Juan Pablo Serrano: pexels.com

Aku duduk di ruang makan, menatap tumpukan plastik bekas bungkusan takjil yang berjejal di meja. Seperti biasa, selepas berbuka puasa, meja ini berubah menjadi saksi bisu atas kerakusan yang tersamar oleh euforia Ramadhan. Aku mendesah pelan, jemariku meremas kantong plastik kosong, mendengar gemerisiknya yang terdengar seperti suara peringatan dari alam.

Berapa banyak yang kubuang hari ini? Seporsi kolak yang hanya kuminum setengahnya. Sebungkus gorengan yang akhirnya melempem di piring. Air mineral dalam botol plastik yang setengahnya tumpah. Dan itu baru aku. Bagaimana dengan jutaan rumah tangga lain yang mengalami hal serupa? Jika satu keluarga menghasilkan hampir tiga kilogram sampah sehari, dan di bulan Ramadhan angkanya meningkat dua puluh persen, berapa gunung sampah yang telah kita bangun tanpa sadar?

Ironis. Ramadhan seharusnya mengajarkan kesederhanaan, menahan diri, menekan hawa nafsu. Tapi justru di bulan ini, belanja makanan menjadi lebih besar, konsumsi bertambah, dan sampah melonjak drastis. Seakan puasa hanya ritual siang hari, sementara saat matahari tenggelam, kita kembali menjadi makhluk rakus yang sulit mengendalikan keinginan.

Aku teringat seorang ibu yang pernah kutemui di pasar takjil dekat rumah, dengan penuh semangat memborong berbagai hidangan berbuka. Tangannya cekatan menunjuk ini-itu, dan kantong plastik di genggamannya bertambah banyak. Mungkin, sebagian dari belanjaan itu akan terbuang percuma, tak sempat termakan karena terlalu banyak. Pernahkah kita berpikir berapa banyak makanan yang akhirnya berakhir di tempat sampah setiap malam Ramadhan? Semua ini menjadi warisan diam-diam yang kita tinggalkan untuk generasi selanjutnya. Mereka yang akan tumbuh dalam dunia yang semakin sesak oleh limbah yang kita hasilkan tanpa pikir panjang.

Aku menarik napas dalam. Ramadhan seharusnya menjadi momentum untuk berubah, bukan sekadar menahan lapar, tetapi juga menahan keinginan untuk berlebihan. Tapi bagaimana caranya? Apakah mungkin mengubah kebiasaan yang telah mengakar bertahun-tahun?

Mungkin, aku bisa memulainya dengan satu langkah kecil: membeli secukupnya. Perut yang kosong seharian sering kali membuatku lapar mata, ingin membeli ini-itu tanpa pikir panjang. Aku harus belajar menahan diri. Bukan berarti tidak boleh menikmati hidangan berbuka, tetapi cukup memilih satu atau dua menu favorit, bukan berlebihan hingga akhirnya terbuang.

Aku juga bisa mulai membawa wadah sendiri. Betapa sering aku pulang dengan kantong plastik penuh hanya untuk menyadari bahwa sebagian besar makanan yang kubeli terbungkus dalam plastik sekali pakai. Jika aku membawa wadah sendiri, setidaknya aku bisa mengurangi satu-dua plastik dari timbunan sampah hari itu.

Dan makanan sisa, apakah harus selalu berakhir di tempat sampah? Aku ingat, dulu ibuku sering mengolah nasi sisa menjadi nasi goreng, membuat kaldu dari sisa tulang, atau mengubah kulit buah menjadi eco enzyme. Mungkin aku bisa mencoba melakukan hal yang sama. Tidak hanya lebih hemat, tetapi juga lebih bertanggung jawab.

Aku juga bisa lebih bijak dalam menyusun porsi makan. Kadang aku terlalu bersemangat saat berbuka, mengambil porsi besar hanya untuk merasa kenyang lebih cepat dan akhirnya menyisakan makanan. Jika aku mulai dengan porsi kecil, memberi tubuh waktu untuk beradaptasi, aku mungkin tidak akan mengambil lebih dari yang kubutuhkan.

Dan jika masih ada makanan berlebih? Mungkin aku bisa berbagi. Ada banyak orang yang membutuhkan, banyak komunitas yang bersedia menyalurkan makanan untuk mereka yang kurang beruntung. Alih-alih membuangnya, aku bisa menjadikannya sebagai bagian dari sedekah Ramadhan.

Aku ingin Ramadhan ini benar-benar bermakna, tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam cara aku memperlakukan dunia yang kutinggali. Sebab, bukankah esensi dari puasa adalah melatih diri untuk tidak berlebihan? Jika kita bisa menahan diri dari makan dan minum selama belasan jam, bukankah kita juga seharusnya bisa menahan diri dari keinginan berlebih yang hanya akan menyisakan sampah untuk generasi berikutnya?

Mungkin, perubahan kecil saja sudah cukup. Memilih satu atau dua menu favorit, bukan membeli banyak untuk berakhir di tempat sampah. Membawa wadah sendiri, mengurangi plastik. Tidak membiarkan makanan terbuang percuma. Jika semua orang melakukan hal yang sama, mungkin Ramadhan kita benar-benar bisa meninggalkan jejak kebaikan, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga untuk bumi yang lebih lestari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun