Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kompas dan Kompasiana: Ketika Nama Besar Dipertaruhkan

22 Februari 2025   08:31 Diperbarui: 22 Februari 2025   08:31 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/macbook-pro-265642/

Ada nama-nama yang begitu besar hingga menghadirkan ekspektasi tersendiri. Kompas adalah salah satunya. Sebagai institusi jurnalistik yang telah puluhan tahun berdiri, ia tidak hanya dikenal karena kualitas pemberitaannya, tetapi juga karena cara ia memperlakukan aset terpentingnya: para jurnalis. Kompas membangun reputasi dengan prinsip profesionalisme yang kokoh, menjunjung etika, dan memberikan penghargaan kepada mereka yang bekerja di dalamnya.

Sebagai bukti nyata, seorang rekan berbagi cerita tentang suaminya, kontributor Kompas di Timur Tengah. Ia merasa dihargai bukan hanya sebagai pekerja, tetapi sebagai bagian dari sebuah keluarga jurnalistik yang menjunjung tinggi integritas. Bahkan, pengalaman pribadi pun menguatkan persepsi ini. Seorang adik yang baru tiga hari bekerja di Kompas sebelum mengundurkan diri karena alasan kesehatan tetap menerima gaji penuh untuk sebulan, sebagaimana tertuang dalam perjanjian kerja. Ini bukan sekadar kebijakan; ini adalah cerminan dari perusahaan yang beretika.

Lalu ada Kompasiana. Sebagai platform yang mengusung nama besar Kompas, harapan serupa otomatis melekat. Ruang ini didesain untuk menjadi ekosistem berbagi pemikiran, tempat di mana publik bisa menulis, berpendapat, dan berdiskusi. Bagi banyak penulis, termasuk saya, Kompasiana adalah tempat mencurahkan isi pikiran dengan harapan mendapat tanggapan. Setiap like, komentar, atau sekadar view menjadi validasi bahwa ada yang mendengar, bahwa gagasan yang dituangkan tidak menguap begitu saja.

Saat pertama kali menulis di Kompasiana, ada semangat yang menyala. Artikel yang mendapatkan highlight atau headline menjadi puncak pencapaian, karena itu berarti karya kita memiliki kesempatan lebih besar untuk dibaca oleh banyak orang. Seiring waktu, saya mulai mengamati pola: bagaimana artikel dipilih, bagaimana topik tertentu lebih mendapat sorotan, dan bagaimana format tertentu tampaknya lebih disukai.

Namun, sesuatu terasa janggal. Beberapa artikel yang masuk dalam kategori highlight tampak jauh dari standar yang ditetapkan dalam panduan Kompasiana sendiri. Tulisan-tulisan dengan pembahasan dangkal, topik yang bisa dengan mudah ditemukan di Google dengan informasi yang lebih baik, bahkan judul yang repetitif tetap mendapatkan sorotan. Sementara itu, artikel dengan analisis mendalam, riset yang lebih matang, dan sudut pandang yang unik kadang justru terpinggirkan.

Puncaknya, ketika sebuah artikel saya dianggap melanggar aturan. Dugaan itu akhirnya tidak terbukti, tetapi pengalaman itu menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana sebenarnya sistem seleksi di Kompasiana bekerja? Saya mencoba menghubungi pihak Kompasiana melalui email dan WhatsApp resmi, berharap mendapat jawaban yang jelas. Namun, balasan yang saya terima normatif, tidak memberi arahan konkret tentang bagaimana meningkatkan kualitas tulisan sesuai standar yang mereka tetapkan.

Yang lebih mengejutkan adalah respons dari seorang Kompasianer dengan tanda centang biru. Saat saya bertanya tentang bagaimana mekanisme pemilihan artikel, jawabannya sederhana: itu adalah privilese bagi mereka yang memiliki status tersebut. Seolah ada kasta yang terbentuk di dalam Kompasiana, di mana mereka yang telah lama berkontribusi mendapatkan akses dan pengakuan lebih, sementara yang lain hanya bisa berharap atau menduga-duga.

Dalam perspektif sosiologi, ini adalah bentuk stratifikasi sosial dalam komunitas digital. Kompasiana telah menciptakan struktur yang membedakan antara 'bangsawan digital' dan 'kaum biasa'. Penghargaan bagi mereka yang telah lama berkontribusi tentu adalah sesuatu yang wajar. Tetapi ketika komunitas yang lebih luas merasa diabaikan, ketika ada kesan bahwa peluang hanya terbuka bagi mereka yang memiliki tanda pengenal tertentu, maka ekosistem ini mulai kehilangan esensinya sebagai wadah berbagi yang inklusif.

Dari sudut pandang psikologi komunikasi, rasa dihargai adalah kunci utama dalam keterlibatan digital. Jika penulis merasa bahwa usaha mereka tidak mendapat pengakuan yang adil atau bahwa ada sistem yang bekerja dengan ketidakjelasan, maka motivasi mereka akan memudar. Sebuah komunitas berbasis konten seperti Kompasiana sangat bergantung pada para penulisnya. Jika ekosistem ini tidak memberikan ruang yang sehat dan terbuka bagi semua, maka nilai dari platform ini pun akan terus menurun.

Kompasiana seharusnya bisa belajar dari Kompas. Nama besar bukan hanya tentang warisan, tetapi tentang bagaimana ia dipertahankan dan dijaga. Jika Kompasiana ingin tetap relevan dan berkembang, transparansi dalam sistem seleksi artikel harus diperbaiki. Setiap penulis, entah yang sudah lama atau yang baru bergabung, berhak mendapatkan kejelasan tentang bagaimana karya mereka dinilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun