Dalam sistem hukum tata negara Indonesia, terdapat perdebatan hukum yang cukup mendalam mengenai revisi Pasal 3 UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang disahkan pada 2025 dan Pasal 6 UU Keuangan Negara (UU No. 17/2003). Revisi ini mengubah status hukum BUMN sebagai entitas yang lebih mandiri, berbeda dengan pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN tetap menjadi bagian dari keuangan negara.
Latar Belakang Revisi UU BUMN
Revisi UU BUMN dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalisme dalam pengelolaan BUMN. Beberapa perubahan utama yang terkandung dalam revisi Pasal 3 meliputi:
- Pemisahan kepemilikan negara dan BUMN, di mana modal dan kerugian BUMN tidak lagi dianggap sebagai bagian dari keuangan negara (Pasal 4B).
- Pendelegasian kewenangan pengelolaan dari Presiden ke Menteri BUMN dan Badan Pengelola Investasi (BPI Danantara) (Pasal 3A).
- Status direksi, komisaris, dan pegawai BUMN bukan penyelenggara negara, sehingga mengurangi kewenangan KPK dalam mengusut kasus korupsi di BUMN (Pasal 9G).
Kontradiksi dengan Pasal 6 UU Keuangan Negara
Pasal 6 UU Keuangan Negara secara eksplisit menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN tetap merupakan bagian dari keuangan negara. Hal ini berimplikasi pada status hukum kerugian BUMN yang dapat dikategorikan sebagai kerugian negara apabila terjadi tindakan melawan hukum, termasuk tindak pidana korupsi.
Konflik ini menciptakan ambiguitas dalam aspek berikut:
- Status Keuangan BUMN: Apakah kerugian BUMN masih dapat dikategorikan sebagai kerugian negara?
- Penegakan Hukum: Apakah KPK dan Kejaksaan masih memiliki kewenangan untuk menindak dugaan korupsi di BUMN?
- Akuntabilitas Keuangan: Jika BUMN dianggap sebagai entitas swasta, bagaimana mekanisme pengawasan terhadap penggunaan dana yang berasal dari penyertaan modal negara?
Implikasi Hukum dan Tata Kelola Negara
1. Pengawasan Keuangan BUMN
Jika revisi UU BUMN diterapkan tanpa harmonisasi dengan UU Keuangan Negara, terdapat kemungkinan bahwa BUMN tidak lagi tunduk pada pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini dapat membuka celah bagi penyalahgunaan keuangan tanpa mekanisme kontrol yang memadai.
2. Kewenangan KPK dan Penegakan Hukum
Dalam sistem hukum tata negara, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di BUMN menjadi salah satu aspek yang diperdebatkan. Dengan tidak lagi mengkategorikan direksi dan komisaris BUMN sebagai penyelenggara negara, maka mereka dapat terhindar dari kewenangan KPK yang selama ini mengusut kasus korupsi di lingkungan BUMN.
3. Perlindungan terhadap Direksi dan Komisaris
Revisi UU BUMN memperkenalkan Business Judgment Rule, yang melindungi direksi dari tuntutan pidana jika keputusan bisnis yang diambil tidak mengandung unsur kesalahan yang disengaja atau penyalahgunaan wewenang. Hal ini dapat memberikan kepastian hukum bagi pengelola BUMN, tetapi juga berpotensi mengurangi transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan BUMN.