Apa yang terlintas di benak kalian ketika mendengar kata pengadaan? Kalau saya, ada tiga hal.
Pertama, pengadaan itu ruwet. Dulu, empat tahun lalu, ketika saya masih bertugas sebagai panitia pengadaan di kantor lama, anggapan itu memang benar adanya. Bukan rekayasa, bukan pula omong kosong belaka.
Betapa tidak? Setiap kali kantor memerlukan barang atau jasa, kami--saya dan segelintir panitia lainnya--mesti berurusan dengan tumpukan dokumen. Jenisnya berbagai rupa. Mulai dari berkas pendaftaran lelang, profil peserta, berita acara aanwijzing, pengumuman pemenang, hingga bukti serah terima.
Tebalnya pun tidak main-main. Satu paket pekerjaan sederhana, katakanlah pengadaan 20 unit laptop saja, memerlukan lima binder besar. Tiga binder untuk menampung dokumen penawaran peserta, dua binder sisanya dialokasikan untuk arsip analisis dan usulan panitia kepada pejabat pemutus pengadaan.
Itu baru yang sederhana, ya. Maka, bisa dibayangkan seberapa tebalnya berkas pengadaan kelas kakap seperti pembangunan rumah dinas atau renovasi gedung kantor, bukan?
Kedua, pengadaan itu makan waktu. Dulu, empat tahun lalu, ketika saya masih berurusan dengan meja kantor yang cacat, sangkaan itu sungguh akurat. Tidak dibuat-buat, apalagi asal ucap.
Jika membeli perabot rumah bisa kelar dalam hitungan jam, lainnya halnya dengan pengadaan konvensional. Kala itu, pengadaan meja kantor yang kami lakukan memakan waktu hingga dua bulan. Bukan apa-apa. Prosesnya memang panjang. Mulai dari analisis kerusakan, pengajuan kebutuhan, memilih vendor langganan, hingga serah terima barang.
Padahal, kami memilih sistem pengadaan yang paling sederhana: penunjukan langsung. Jadi, bisa diterka waktu yang tersita bilamana kami menggunakan sistem yang lebih kompleks dan rumit, bukan? Pemilihan langsung atau lelang, contohnya.
Ketiga, pengadaan itu rentan dikorupsi. Kemarin malam, sewaktu iseng berselancar di dunia maya, saya menemukan sebuah berita yang mencengangkan. Sumbernya pun sangat tepercaya, bukan abal-abal belaka.
Menurut KPK, seperti dilansir Detik, delapan puluh persen kasus korupsi dilakukan melalui proyek pengadaan barang dan jasa. Faktor penyebabnya bermacam-macam. Yang paling sederhana, belum semua satuan kerja pemerintah menerapkan e-procurement.