Mohon tunggu...
Nizar Ibrahim H
Nizar Ibrahim H Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sunyi

Berpikir, bersabar, berpuasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Ingin, Menikahimu dengan Sederhana

16 Desember 2020   00:09 Diperbarui: 16 Desember 2020   00:14 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Karya ini ditulis pada April 2020)

Hampir semua orang merasakan dampak buruk dari wabah Covid-19 ini. Entah mereka para pengusaha, pekerja, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, apalagi orang-orang tunakarya. Namun, dampak buruk ini memberikan sedikit keuntungan di awal bagi pasangan yang hendak memulai pernikahan.

Sebab peraturan pemerintah adalah supaya kita tidak melakukan suatu acara yang menimbulkan kerumunan. Sehingga prosesi pernikahan idaman yang---bagi kelas menengah ke bawah---mewah otomatis tidak akan terjadi.

Keuntungannya adalah pengeluaran yang tidak banyak, bahkan bisa jadi gratis kalau prosesi ijab di KUA, dan mungkin cuma membayar untuk make up beserta pakaiannya yang tidak sebanding dengan biaya prosesi nikah pada umumnya, yang bagi beberapa kalangan dinilai pernikahan yang mewah itu.

Lucunya, sekarang kata "menikah" menjadi cukup sering kita dengar di kalangan anak muda yang sudah cukup matang alias sudah waktunya menikah, bagi mereka. Menikah murah, masa-masa selama di rumah---karena harus jaga jarak dan tidak bepergian---menjadi alasan untuk menikah supaya kenikmatan pengantin baru lebih terasa.

Tentu bagi mereka yang sudah terlanjur di rumah. Bagaimana mereka yang masih merantau dan tidak bisa pulang ke kampung halaman, lalu tergoda dengan pernikahan murah yang dibarengi dengan hasrat biologis yang sudah memuncak? Sungguh, menyedihkan, sebab klimaks tak tersalurkan.

Kemudian bagi mereka yang sudah mengatur prosesi pernikahan dengan booking gedung, katering, undangan, harus dibatalkan karena adanya wabah ini. Bagi mereka, pun harapannya, pernikahan yang hanya dilakukan sekali seumur hidup itu bisa menjadi kenangan yang membahagiakan. Menikah di gedung yang diinginkan, tamu yang berdesakan, hidangan katering yang membuat air liur bertetesan, semuanya kembali menjadi bayangan semata.

Merayakan acara pernikahan yang dihadiri warga satu RW saja mungkin bakal viral dan bisa jadi menjadi bahan hujatan orang-orang. Apalagi nekat di gedung. Lalu, mereka yang sudah hamil saat wabah, harus merasakan ketakutan yang berlebih; menjaga kesehatannya sendiri, keluarganya, lingkungannya, dan bayi yang dikandungnya.

Belum lagi jika penghasilannya, pun suaminya mendadak seret karena dampak dari wabah, mereka menambahkan ketakutan baru di dalam kepalanya untuk mencari biaya supaya si bayi bisa lahir dengan selamat, yang melahirkan selamat, suami dan keluarga bahagia, namun keuangan juga masih terjaga.

Kemudian menghitung berapa kira-kira biaya yang harus dikeluarkan selama perawatan si ibu dan si anak, dibagi dengan uang untuk makan suami atau anak lainnya, uang kontrakan, dll. Sungguh, wabah memang menjadi ajang untuk manusia supaya lebih hebat dalam menimbang suatu keputusan dalam kelangsungan hidupnya.

Walaupun Tuhan sudah menjamin rezeki tiap manusia, tapi, kan Tuhan tidak menjamin akan membantu manusia dalam manajemen keuangannya. Mosok---kata orang Jawa---diwehi ati ngerogoh rempelo (masak sudah dikasih hati malah minta ampela alias sudah dikasih, nggak punya malu masih minta lebih).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun