"Anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan" - John Locke
Pada tahun 2012, Konvensi PBB tentang Hak Anak telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ("UU SPPA"). Dalam hal ini, konstitusi Indonesia sedari lama telah menyadari keberadaan anak sebagai komponen yang tidak bisa dilepaskan dari kemajuan dan kedaulatan bangsa. Hal ini divalidasi dengan adanya Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ("UUD NRI 1945") mengenai penjaminan hak anak. Sayangnya, Komisi Perlindungan Anak melaporkan bahwa terdapat 644 anak berhadapan dengan hukum ("ABH") yang terbagi atas 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis. Menindaklanjuti hal ini, Indonesia telah memberlakukan UU SPPA sejak tahun 2014. Namun, penerapan UU SPPA sering kali menemukan ketimpangan yang berakibat pada tercederainya keadilan itu sendiri, seperti Pasal 5 ayat (1) UU SPPA mengenai pendekatan keadilan restoratif sebagai proses diversi antar semua pihak untuk mengatasi masalah dengan perdamaian. Hal ini kemudian menjadi bumerang di beberapa kasus, seperti kasus seorang anak di Tasikmalaya yang meninggal setelah dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman-temannya. Kejadian tahun 2022 ini berujung dengan dibebaskannya tiga teman korban yang merupakan tersangka dengan dalil masih di bawah umur. Merespons hal ini, muncullah konsep Trial As An Adult yang bertujuan memberikan berat hukuman yang sama pada tindak pidana anak dengan tindak pidana orang dewasa. UU SPPA dan konsep ini sama-sama menitikberatkan keadilan dan perlindungan Hak Asasi Manusia ("HAM")Â pada anak. Lantas, apakah konsep baru ini akan konstitusional dan dapat menggantikan peran UU SPPA?
Konsep Trial As An Adult merupakan konsep pengadilan anak yang berkembang pertama kali di Amerika Serikat ("AS"). Konsep ini menuntut anak agar merasakan hukuman pidana yang sama dengan orang dewasa. Konsep pidana tentunya tidak akan pernah lepas dari nilai konstitusional suatu hukuman pidana itu sendiri. Pada sisi lainnya, berbicara mengenai seorang anak tentunya tidak akan lepas dari sisi psikologi dan daya pikir anak tersebut. Bukti ilmiah menyatakan bahwa bagian lobus frontal pada otak manusia yang berfungsi dalam pengambilan keputusan hanya terbentuk saat manusia menjelang umur 21 tahun. Hal ini mengartikan bahwasanya seorang anak belum cukup cakap secara daya pikir untuk dinyatakan sebagai subjek hukum. Selain itu, adanya perbedaan ekonomi, pola asuh, dan budaya keluarga di setiap anak tentunya akan membawa pengaruh di diri anak tersebut, termasuk kebiasaan negatif keluarga yang dapat dibawa anak ke dunia luar. Wadah meniru bagi anak kini tidak hanya orang tua, melainkan juga media sosial ataupun televisi dengan tayangan liar, seperti adegan perundungan dan adegan percintaan yang berlebihan. ABH dalam beberapa kasus cenderung tidak tahu bahwa hal yang mereka lakukan adalah salah, mereka hanya meniru apa yang dibekali oleh lingkungannya. Maka, tidak akan adil untuk menghukum anak melalui pola yang sama dengan orang dewasa karena keterbatasan kapabilitas mereka dan pengaruh eksternal lainnya.Â
Menilik lebih dalam, doktrin buruk juga rentan diserap anak ketika digabungkan satu sel dengan penjahat dewasa dalam waktu yang lama. Hal ini divalidasi melalui data statistik di 15 negara bagian AS yang menunjukkan bahwa sebesar 82% anak-anak yang diadili di pengadilan orang dewasa harus ditangkap kembali saat dibebaskan karena perkara pidana yang lebih berat. Lebih buruk lagi, ABH dapat menjadi 'sasaran empuk' bagi penjahat dewasa, seperti menjadi korban kekerasan fisik, kekerasan psikis, bahkan kekerasan seksual yang berujung pada bunuh diri. Menilik konseptualnya, Indonesia telah menyetujui adanya Konvensi PBB tentang Hak Anak sejak ratifikasi dari konvensi ini dilakukan. Ini mengartikan bahwa Indonesia harus tunduk akan perihal hak anak yang diatur dalam konvensi tersebut, termasuk diantaranya adalah hak anak atas perlindungan. Selain itu, pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 termaktub bahwa tujuan hukum merupakan kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Sayangnya, Konsep Trial As An Adult tidak memenuhi kedua asas dasar ini untuk bisa dinyatakan sebagai hukum yang konstitusional karena dampak kejamnya yang begitu besar. Maka, mengadili anak di pengadilan pidana dewasa adalah inkonstitusional, tidak bermoral, dan tidak pantas. Lantas, apakah UU SPPA sudah cukup dalam mengatasi problematika ini?
Keberadaan UU Nomor 11 Tahun 2012 bertujuan untuk mengatur mengenai sistem peradilan anak yang berlandaskan keadilan restoratif dan sistem diversi. Keadilan restoratif merupakan keberadaan hukum untuk memberikan keadilan tidak hanya pada korban, tetapi juga pelaku dan keluarga dengan pendekatan diversi sebagai pemecahan masalah yang berlandaskan perdamaian. Sayangnya, ini menimbulkan ketimpangan dan parameter hukum yang ambigu. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (2) UU SPPA yang menerangkan bahwa kesepakatan diversi hanya diberlakukan pada pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, dan kerugian materiil yang tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat. Selain itu, Pasal 70 UU SPPA juga menerangkan bahwa ringannya tindak pidana dapat mempengaruhi keputusan hakim. Kedua pasal berakhir dengan ambigu karena UU SPPA tidak pernah mengatur parameter mengenai tindak pidana ringan yang dimaksud. Aspek kerugian juga hanya dilihat dari fisik dan materiil, tanpa coba mempertimbangkan dari sisi kondisi psikologi, seperti trauma, kecemasan, dan kesedihan yang lebih berdampak pada kondisi anak sebagai korban. Sistem diversi dengan landasan kesepakatan antar keluarga dan masyarakat juga menimbulkan peluang relasi kuasa dari pihak dengan ekonomi ataupun jabatan yang kuat di masyarakat. Buruknya, ini akan menciptakan oknum 'kebal hukum' dan nihilnya kepastian hukum pada korban karena negosiasi yang tidak sempurna. Ini divalidasi dengan adanya kasus pemerkosaan anak di Jakarta Utara dan kasus seorang anak yang meninggal di Tasikmalaya setelah dipaksa menyetubuhi kucing. Akhir dari kedua kasus ini adalah dikembalikannya ABH kepada pihak orang tua. Padahal, ABH umumnya didominasi dari kalangan anak yang tidak mendapat perhatian orang tua.Â
Oleh karena itu, reformasi terhadap UU SPPA sangat diperlukan untuk menjamin hukum yang konstitusional. Kebijakan keadilan restoratif yang berlandaskan sistem diversi harus dihapus dan digantikan dengan kepastian hukum di tangan hakim untuk menentukan lama waktu rehabilitasi anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak ("LPKA"). Rehabilitasi telah divalidasi sebagai obat paling ampuh untuk mengatasi anak yang melakukan tindak pidana di beberapa negara bagian AS. Lembaga ini nantinya akan menjadi pusat pelatihan keterampilan anak, pelatihan terhadap psikologi dan karakter anak, serta wadah bersekolah sampai bisa memiliki ijazah. Pengawasan dan pelatihan akan dilakukan pembimbing kemasyarakatan seperti termaktub pada Pasal 1 UU SPPA. Ini menjadi obat bagi ABH untuk berlaku baik dan obat bagi korban dengan adanya konsekuensi pada ABH. Pemerintah juga bertugas untuk membangun LPKA yang layak dan merata. Hal ini dikarenakan LPKA yang layak didominasi oleh LPKA di perkotaan, contohnya LPKA Tangerang yang sudah mampu menyediakan akses sekolah dengan tenaga pengajar. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti disini, tetapi berkelanjutan hingga ABH kembali ke tempat tinggal mereka. Pemerintah wajib melakukan kontrol dan survei mengenai perilaku ABH setelah dikembalikan kepada masyarakat sesuai dengan waktu ideal yang ditentukan. Beranjak dari revisi solusi, sistem penjara anak dalam kasus kejahatan merupakan obat terakhir yang perlu diimbangi dengan rehabilitasi. Penjara anak harus memiliki selnya sendiri dan dilengkapi dengan fasilitas pelatihan keterampilan. Pelatihan keterampilan dapat berupa pelatihan menjahit, mendesain, ataupun bela diri. Ini bentuk penghargaan atas hak ABH dalam bertumbuh kembang di masa anak-anak. Melalui keseimbangan yang berkelanjutan, ABH akan memiliki perlindungan yang cukup saat ia kembali ke masyarakat, berupa pola pikir yang terbentuk dengan baik, kesadaran hukum yang terbentuk, dan keterampilan pendidikan yang terasah. Solusi ini digaungkan untuk menciptakan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum pada peradilan anak. Terlepas dari bagaimana sikap tindak seorang anak, seorang anak tetaplah seorang manusia yang harus diberi petunjuk untuk menjadi generasi yang intelektual.
Rujukan:
Undang-Undang Tentang Sistem Pengadilan Pidana Anak, UU Nomor 11 Tahun 2012 LN Tahun 2021 No. 153 TLN No. 5332, selanjutnya disebut UU SPPA.
Latiff, Nurika, "Efektivitas Penerapan Sanksi Pidana Penjara Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana", Jurnal Media Komunikasi dan Kajian Hukum, Vol. 18, Nomor 2 (2020).
Mariefa, Galih, "Pengaruh lingkungan keluarga terhadap kepribadian anak", Jurnal Pendidikan Dan Konseling, Vol. 2, No 1 (2020), hlm. 126-129.
Script Writer, "Children Tried As Adults Face Danger, Less Chance For Rehabilitation", Southern Poverty Law Center (30 Oktober 2014), hlm. 1.