Mohon tunggu...
Nito Waruwu
Nito Waruwu Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 Marketing Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Prasetiya Mulya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dualisme vs Sinergi Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Indonesia

31 Oktober 2015   17:19 Diperbarui: 1 November 2015   15:01 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     Para pengendara kendaraan bermotor menyalakan lampu ketika berkendara di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, salah satu kota di Indonesia yang terkena dampak paling besar pembakaran hutan | AFP         

             Setiap hari Anda bangun pagi, mandi, sarapan, lalu siap untuk beraktivitas. Anda pulang ke rumah, makan malam, bersantai, tidur, lalu bersiap untuk aktivitas esok hari. Siklus yang berulang ini mungkin terdengar biasa saja. Namun, tahukah Anda bahwa serangkaian aktivitas Anda melibatkan salah satu komoditas yang vital dalam kehidupan manusia? Kelapa sawit.

                Faktanya, sekitar 50% produk kemasan yang terdapat di supermarket mengandung kelapa sawit maupun zat turunan atau olahan dari kelapa sawit. Sampo, sabun, margarin, coklat, minyak goreng, mi instan, es krim dan deterjen merupakan contoh-contoh produk yang mengandung kelapa sawit. Selain banyaknya varian produk yang mengandung minyak kelapa sawit, ternyata banyak zat turunan minyak kelapa sawit yang muncul dengan nama lain dalam label kandungan suatu produk, misalnya asam stearat, gliseril, minyak nabati, dan sebagainya.

                Sayangnya, tidak jarang pemenuhan kebutuhan manusia mengorbankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial pihak-pihak yang terlibat dalam siklus produksi. Pernyataan inilah yang mendasari diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan menyatakan bahwa setiap negara berhak memanfaatkan segala jenis sumber daya yang dimiliki, berdasarkan kebijakan negara tentang lingkungan dan pembangunan, dengan tetap memperhatikan tanggung jawab untuk memastikan bahwa segala aktivitas di dalam wilayah mereka tidak merusak lingkungan negara lain atau daerah di luar wilayah hukum mereka.

                Nyatanya, idealisme dan realitas saling bertolak belakang. Seperti yang kita ketahui belakangan ini, fenomena asap akibat pembakaran dan pembukaan lahan untuk ditanami, salah satunya, kelapa sawit, yang terjadi di Indonesia, secara eksplisit tidak sesuai dengan deklarasi yang ikut disetujui oleh Indonesia tersebut. Salah satu daerah yang pembakaran hutannya menimbulkan efek asap terparah adalah Palangkaraya, dengan Indeks Standar Polutan mencapai 2000. Padahal, ISP di atas 300 saja sudah dapat dikategorikan berbahaya. Yang lebih mencengangkan lagi adalah lahan yang terbakar di Palangkaraya sudah langsung ditanami sawit, berdasarkan tweet Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, yang berisikan sebuah gambar tunas sawit yang baru tumbuh dengan caption, "Habis bakar terbitlah sawit."

              



 

Salah satu solusi dari praktek-praktek tersebut adalah produksi minyak sawit yang memiliki sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), seperti produk Body Shop di atas. Mengapa? Karena sistem sertifikasi dapat mengurangi fenomena asymmetric information, ketika salah satu pihak dalam sebuah transaksi memiliki informasi yang lebih superior dibandingkan pihak lainnya. Dalam hal ini, produsen memiliki informasi yang lebih banyak dan faktual mengenai minyak kelapa sawit yang mereka produksi, sementara konsumen tidak bisa menilai dari kemasan produk apakah minyak kelapa sawit yang mereka konsumsi merupakan minyak kelapa sawit yang memperhatikan kelestarian lingkungan atau tidak (sustainability).

                RSPO merupakan organisasi non-laba yang berdiri tahun 2004, yang menyatukan tujuh pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit - petani kelapa sawit, pemroses dan pedagang minyak kelapa sawit, pabrik penghasil barang-barang konsumsi, LSM lingkungan, LSM sosial, bank dan investor, serta pihak retailer -  yang bertujuan untuk mentransformasi pasar melalui sertifikasi yang didapatkan dengan mematuhi sejumlah prinsip dan kriteria RSPO. Apa sajakah prinsip-prinsip ini?

  1. Transparansi informasi kepada seluruh pemangku kepentingan
  2. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan daerah, nasional, dan internasional
  3. Perencanaan keuangan dan manajemen jangka panjang
  4. Implementasi best practice oleh para petani dan penggiling
  5. Tanggung jawab lingkungan dan pelestarian sumber daya alam dan keanekaragaman hayati
  6. Pertimbangan yang bertanggung jawab terhadap para karyawan serta masyarakat yang terpengaruh oleh aktivitas petani dan penggiling
  7. Penanaman baru yang bertanggung jawab
  8. Peningkatan yang kontinu dalam aktivitas produksi berdasarkan kriteria yang ada

                Di sisi lain, Indonesian Sustainable Palm Oil merupakan sistem sertifikasi yang merupakan kebijakan Kementrian Pertanian pada tahun 2012. Sertifikasi ini wajib namun belum diakui secara internasional karena kurangnya keterlibatan LSM lingkungan dan perusahaan dalam proses audit dan tingkat kepercayaan konsumen internasional yang rendah terhadap pemerintah Indonesia, sedangkan sertifikasi RSPO bersifat sukarela namun diakui oleh pasar internasional. Secara umum, kriteria RSPO dan ISPO memiliki kesamaan, namun terdapat perbedaan di beberapa titik. Perbedaan tersebut terkadang menjadi dilema, apakah lebih baik RSPO dan ISPO diintegrasikan atau dibiarkan jalan terpisah.

                Salah satunya mengenai High Conservation Value Areas, parameter yang dianut oleh RSPO. HCVA adalah area yang mengandung nilai biologis, ekologis, sosial, dan budaya yang memiliki signifikansi tinggi di area tersebut. Terdapat enam jenis HCVA, yang memiliki definisi masing-masing, misalnya HCVA4 yakni area yang memberikan fungsi alami saat kondisi kritis (misal : area pengontrol erosi). Dalam rangka mendapatkan sertifikasi RSPO, perusahaan harus melewati tahap penilaian HCVA untuk memperkecil kemungkinan kerusakan HCVA di dalam daerah tanam mereka.  Nah, aspek inilah yang memungkinkan terjadinya dilema antara sertifikasi ISPO dan RSPO. Katakanlah suatu daerah diperbolehkan oleh negara (ISPO) untuk ditanami, sedangkan menurut ketentuan HCVA (RSPO) dilarang. Prinsip manakah yang harus dianut perusahaan? Atas dasar apakah perusahaan menganut prinsip sertifikasi yang satu dan tidak yang lain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun