Mohon tunggu...
Nita Rachmawati
Nita Rachmawati Mohon Tunggu... GURU MAN BULELENG

Mendengarkan Podcast Edukatif dan Self -Growth

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tri Hita Karana: Menata Lingkungan, Membentuk Generasi

28 September 2025   20:04 Diperbarui: 28 September 2025   20:04 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Buleleng (Sumber: Foto Koleksi Pribadi))

Pembahasan: Konsep Dasar Tri Hita Karana

Tri Hita Karana (THK) berarti “tiga penyebab kebahagiaan.” Konsep ini menekankan keseimbangan tiga relasi utama: parahyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan dengan sesama), dan palemahan (hubungan dengan alam). Filosofi ini mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati hanya terwujud jika ketiga relasi tersebut dijaga secara harmonis. Jika salah satunya rusak, maka keseimbangan hidup manusia terganggu.

Konsep ini relevan dengan kehidupan modern. Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan yang menimbulkan kerusakan ekologis. Begitu pula pendidikan yang hanya menekankan nilai ujian sering mengabaikan pembentukan karakter. THK menjadi jembatan antara modernisasi dan keberlanjutan.

THK dalam Arsitektur dan Tata Ruang

Arsitektur tradisional Bali merupakan contoh konkret penerapan THK. Penataan ruang desa adat mengikuti kosmologi yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya. Rumah dibangun menghadap arah tertentu, pura ditempatkan di lokasi yang sakral, dan lahan pertanian tetap dijaga untuk keseimbangan alam.

Prinsip ini terlihat jelas dalam konsep Tri Mandala dan Sanga Mandala, yang membagi ruang berdasarkan kesucian dan fungsinya. Area hulu atau utama mandala diperuntukkan bagi pura sebagai pusat spiritual, area madya digunakan untuk permukiman dan aktivitas sosial, sementara area nista dipakai untuk lahan pertanian atau aktivitas ekonomi. Pola ini bukan sekadar estetika, melainkan wujud nyata keseimbangan antara kebutuhan religius, sosial, dan ekologis masyarakat Bali. Dengan demikian, tata ruang tradisional Bali menghadirkan filosofi yang hidup, di mana setiap bangunan dan ruang memiliki makna sekaligus fungsi menjaga harmoni.

Kontras dengan Pembangunan Perkotaan Modern

Sebaliknya, banyak kota besar di Indonesia menghadapi masalah akibat pembangunan yang mengabaikan harmoni. Misalnya, pembangunan kawasan komersial yang menutup lahan resapan air menyebabkan banjir musiman. Jika dibandingkan, tata ruang berbasis THK lebih berorientasi pada keberlanjutan dan kenyamanan sosial.

Fenomena serupa juga tampak dari pembangunan gedung pencakar langit yang sering mengorbankan ruang terbuka hijau. Alih-alih menghadirkan kenyamanan, kota justru menjadi panas, padat, dan rawan polusi. Ironisnya, pembangunan semacam ini kerap dianggap sebagai simbol kemajuan, padahal meninggalkan persoalan serius bagi kualitas hidup masyarakat. Jika dibandingkan dengan pola tata ruang berbasis Tri Hita Karana, jelas terlihat bahwa pendekatan tradisional Bali lebih menekankan keberlanjutan, keseimbangan ekologis, serta kenyamanan sosial yang kini justru semakin dirindukan oleh kota-kota modern.

Praktik Baik: Arsitektur Ramah Lingkungan Berbasis THK

Kini, beberapa hotel dan resort di Bali mengadaptasi prinsip ini dalam arsitektur modern: menggunakan material lokal, mengelola limbah dengan bijak, serta menyediakan ruang hijau. Praktik ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi karena menambah daya tarik wisata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun