Pendahuluan: Semangat Membara Tanpa Arah, Apakah Pendidikan Kita Terombang-ambing?
Bayangkan seorang guru sebagai tukang perahu di danau yang tenang. Ia berdiri di haluan, dayungnya mengayuh pelan namun pasti. Semangatnya seperti cahaya fajar yang mengusir kabut, memberi harapan pada tiap permukaan air yang basah. Di belakangnya, para siswa duduk diam di perahu, mendengar, mencatat, berharap ombak ujian tak menyapu pemahaman mereka yang rapuh. Namun tanpa papan arah (pedoman) dan peta evaluasi (ujian ulang), guru itu seperti berlayar di tengah kabut, tak tahu apakah berlabuh di pasir indah atau tersangkut di karang terpendam.
Inilah yang saat ini terjadi. Semangat siswa tampak nyata: siswa tertawa, terpukau, penuh antusias saat belajar. Tapi saat lembar evaluasi dibagikan, soal yang terasa jauh dari aktivitas harian, materi abstrak menyapa, banyak siswa tampak ragu: apakah mereka benar-benar memahami atau hanya menghafal? Semangat menyala, tetapi tanpa pijakan, cahayanya tak cukup menerangi jalan.
Di panggung yang lebih besar, data PISA 2022 membunyikan alarm: skor literasi membaca siswa Indonesia hanya 359 poin, menurun dari pencapaian di PISA 2018. Skor matematika dan sains juga ikut meredup dibanding sebelumnya. Banyak pihak pun berpikir keras: apakah hanya semangat yang diperlukan? Ataukah kita juga butuh pedoman konkret dan evaluasi tajam agar tidak tersesat di tengah ambisi reformasi pendidikan?
Pendidikan bukanlah urusan sekolah saja tapi melekat dalam keluarga, komunitas, dan masa depan bangsa. Bila sistem pendidikan hanya mengandalkan motivasi tanpa kerangka aturan dan pengujian ulang, maka ketidakmerataan bisa meluas, tekanan sosial makin berat, dan hasil belajar tetap jauh dari harapan. Kini, saatnya menyelami lebih dalam: seberapa jauh semangat anak didik dan guru dijawab oleh pedoman dan evaluasi yang nyata?
Kurikulum Baru, Harapan Baru, Tapi Realitas di Kelas Masih Berbeda
Indonesia berada di persimpangan pendidikan. Kurikulum Merdeka hadir sebagai respons atas tantangan pasca pandemi dan ancaman learning loss, membawa harapan pada pembelajaran yang lebih relevan dan adaptif. Namun di lapangan, guru banyak yang melaporkan bahwa kesiapan belum merata, sebagian memahami konsep, tetapi kesulitan merumuskan modul ajar, menyusun asesmen diagnostik, atau menyesuaikan metode dengan konteks lokal.
Data PISA 2022 makin mempertegas kebutuhan pembaruan, literasi membaca merosot ke angka 359, dan matematika tidak luput dari penurunan dari skor 379 ke 366 dibanding 2018. Fakta ini meneguhkan bahwa meskipun reforma terus digaungkan, hasilnya belum menyentuh semua penjuru tanah air secara merata.
Semangat saja bagai lentera kecil di lorong gelap masyarakat yang terbelah oleh jurang ekonomi dan geografis. Di satu sisi, anak-anak dari keluarga menengah ke atas di kota besar punya akses internet cepat, bimbingan tambahan, laboratorium praktikum lengkap, semuanya memperkuat pedoman dan evaluasi dalam pendidikan mereka. Tetapi di sisi lain, di daerah terpencil atau di kampung pesisir, fasilitas belajar bisa terbatas: buku tidak banyak, listrik sering padam, internet lemah, guru bantuan minim.
Secara budaya, masyarakat yang sangat menghargai prestasi akademik sering menekan siswa agar mendapatkan nilai tinggi sebagai simbol kehormatan keluarga. Tapi jika pedoman kurikulum tidak jelas dan evaluasi hanya berdasarkan hasil ujian standar, maka tekanan ini bisa menimbulkan stres, kehilangan makna, dan kecenderungan pembelajaran yang hanya menghafal tanpa pemahaman. Ekonomi pun memainkan peran: orang tua yang harus bekerja keras untuk membeli akses tambahan atau memperbaiki fasilitas rumah dengan sedikit penghasilan, seringkali bergantung pada semangat anak, tanpa pedoman konkret yang bisa menggandeng dan memanfaatkan kondisi tersebut secara efektif.