Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Gratias

-semua karena anugerahNya- Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

80 Tahun Ruang Merdeka di Indonesia

19 Agustus 2025   15:21 Diperbarui: 20 Agustus 2025   10:25 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Artikel : Perlombaan Panjat Pinang Di HUT RI 2022| Sumber melalui Kompas.com (Mochamad Hildan Farros)

Dirgahayu Republik Indonesia!

17 Agustus 2025 lalu menjadi Peringatan Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Usia yang memasuki rentang waktu senja tak lagi muda jika dianalogikan dengan perjalanan hidup seorang manusia.

Usia-usia pensiunan, usia-usia menikmati hidup dan mengayomi anak cucu. Sebuah masa yang telah matang dalam menjalani hidup serta kaya akan pengalaman kehidupan.

Bila merujuk pada perayaan ulang tahun pada umumnya, peringatan ini akan tentu lumrah dibarengi fase reflektif dan evaluasi sepanjang usia itu.

Pencapaian apa yang telah diraih, keberhasilan apa yang telah dicapai dan seirama dengan itu kegagalan-kegagalan apa yang harus diperbaiki untuk hidup yang lebih baik di masa-masa mendatang.

80 tahun ruang merdeka bagi bangsa ini merupakan masa yang tidak pendek walaupun belum bisa dibilang usia yang panjang juga jika dibandingkan dengan usia bangsa lain yang telah lebih dulu mencapai usia kemerdekaan di angka tiga digit.

Indonesia adalah salah satu negara ASEAN yang pernah dijajah oleh bangsa lain dan negara nomor 2 tercepat setelah Filipina (12 Juni 1898) yang menyatakan kemerdekaannya. Di tahun yang sama ada Vietnam (2 September 1945).

Filosofi Angka 80

Angka 80 mengandung unsur angka 8. Angka 8 di dalam Bahasa China dilafalkan "ba" yang memiliki makna "yang mengagumkan" sebagai sebuah simbol dari keberuntungan.

Merujuk pada filosofi 80, peringatan HUT ke-80 RI mengambil tema "Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera Indonesia Maju". Sebuah tema luar biasa yang (mudah-mudahan) bukan hanya sebagai jargon.

Tema ini tentu menjadi sebuah tantangan yang luar biasa di tengah persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Mulai dari tantangan ekonomi dan sosial.

Angka pengangguran yang tercatat meningkat di bulan Februari 2025, yaitu sebesar 7.278.307 jiwa di mana pada tahun sebelumnya angka pengangguran tercatat sebesar 7.194.862 jiwa. Ada kenaikan sebesar 83.445 jiwa.

Kita soroti kemudian di sektor ekonomi di mana daya beli masyarakat yang lesu menjadi sebuah evaluasi. Prediksi ancaman resesi ekonomi akan menghantam Indonesia di awal 2025 lalu seakan semakin mendekati kebenaran. Hal ini bukan hanya terjadi di negara kita di mana ditengarai dipicu oleh sikon geopolitik dunia yang tidak begitu stabil.

Kemudian masalah pendidikan yang terus mengalami dinamika. Pergantian kurikulum yang terus-menerus terjadi.

Akses pendidikan yang belum merata, gaji untuk para guru honorer yang masih minim, dan yang lebih esensial kebijakan-kebijakan internal maupun eksternal dalam dunia pendidikan yang terus-menerus harus mengalami naik turun sehingga memicu beberapa polemik nyata di dunia pendidikan kita.

Pendidikan disusupi politik kepentingan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Pendidikan yang bebas kepentingan apakah mungkin terjadi?

Beranjak ke dunia kesehatan kita, masih buanyak hal yang perlu dievaluasi terus-menerus. Terutama mengenai akses kesehatan yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Kita pasti juga menyimak pemberitaan seorang Dokter Spesialis Ginjal di RSUD Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan yang dipaksa buka masker oleh keluarga pasien penderita TBC karena ditengarai pelayanan yang kurang tanggap.

Kasus-kasus semacam ini mungkin banyak yang tidak terangkat ke permukaan. Masyarakat akar rumput 'dipaksa' menikmati akses yang sulit dalam memeroleh fasilitas kesehatan yang memadai. Masyarakat sering menelan pil pahit ketika terjebak dalam label sistem kekuasaan si lemah dan si kuat.

Kita beralih ke supremasi hukum di Indonesia yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Masyarakat juga belum lupa banyak kasus-kasus hukum janggal dalam sistem peradilan kita. Kasus yang mencuat baru-baru ini.

Seorang diplomat muda Kemenlu RI Arya Daru Pangayunan yang pernah menangani kasus tindak pidana perdagangan manusia yang hingga kini kasusnya masih tanda tanya serta penuh misteri.

Kemudian terkait intoleransi. Masih terdengar kasus-kasus intoleransi yang terjadi di negara kita. Kegagalan negara dalam menciptakan ruang aman untuk setiap warga yang berdasar Pancasila ini masih dirasakan dan terus terjadi. Mayoritas yang selayaknya menjadi pengayom malah sebaliknya, menjadi pengancam.

Masih banyak hal-hal lain yang bisa ditelusuri sebagai bahan evaluasi dan perenungan bersama sebagai bangsa yang baru saja berulang tahun ke-80. Tentu kita bersama ingin negara ini bukan malah mundur tetapi mengupayakan sedemikian rupa untuk mendorong kemajuannya dengan kita yang menjadi agen perubahan itu sendiri.

Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Ataukah justru masih terjajah dalam bentuk berbeda?

Bukan hendak menunjuk pihak lain saja, tetapi mari bersama berefleksi terus-menerus untuk kemajuan bangsa ini. Secara konkrit untuk kita sebagai pribadi. 

Apakah sudah menjadi pribadi merdeka yang bertanggungjawab atas diri sendiri? Apakah kita sudah menjadi pribadi yang berdampak minimal untuk diri dan keluarga? Apakah kita sudah memulai dari diri sendiri terlebih dahulu untuk berperilaku adil? Apakah kita juga sudah berkontribusi terhadap masyarakat di sekitar kita mulai dari yang terkecil?

Bertolak dari pribadi kemudian merujuk pada hal yang lebih besar lagi. Harapan kita menjadi harapan sebuah bangsa besar ini. Sepenggal syair lagu karya Ismail Marzuki menjadi sebuah pengingat bagi kita semua untuk kembali ke rel yang benar di dalam semua lini yang kita kerjakan masing-masing. 

Sebagai anak, apakah kita sudah melakukan hal yang benar di keluarga. Sebagai ibu dan atau istri apakah kita telah memberikan yang terbaik untuk keluarga? Sebagai ayah dan suami apakah kita sudah hadir dengan penuh bagi keluarga kita. Apakah kita sebagai karyawan dan pimpinan sudah berlaku benar di lingkungan pekerjaan dan seterusnya-dan seterusnya. 

Berharap 80 tahun negara kita ini menjadi momentum tepat untuk 'kembali' pada fitrah sebagai bangsa besar yang saling menghargai dan menjunjung nilai kemanusiaan di atas semua hal. Terima kasih.

Indonesia Pusaka

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala, tetap dipuja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta

Dibuai dibesarkan bunda

Tempat berlindung di hari tua

Sampai akhir menutup mata


19 Agustus 2025

Referensi : satu, dua, tiga

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun