Kita soroti kemudian di sektor ekonomi di mana daya beli masyarakat yang lesu menjadi sebuah evaluasi. Prediksi ancaman resesi ekonomi akan menghantam Indonesia di awal 2025 lalu seakan semakin mendekati kebenaran. Hal ini bukan hanya terjadi di negara kita di mana ditengarai dipicu oleh sikon geopolitik dunia yang tidak begitu stabil.
Kemudian masalah pendidikan yang terus mengalami dinamika. Pergantian kurikulum yang terus-menerus terjadi.
Akses pendidikan yang belum merata, gaji untuk para guru honorer yang masih minim, dan yang lebih esensial kebijakan-kebijakan internal maupun eksternal dalam dunia pendidikan yang terus-menerus harus mengalami naik turun sehingga memicu beberapa polemik nyata di dunia pendidikan kita.
Pendidikan disusupi politik kepentingan yang seharusnya tidak boleh terjadi. Pendidikan yang bebas kepentingan apakah mungkin terjadi?
Beranjak ke dunia kesehatan kita, masih buanyak hal yang perlu dievaluasi terus-menerus. Terutama mengenai akses kesehatan yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Kita pasti juga menyimak pemberitaan seorang Dokter Spesialis Ginjal di RSUD Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan yang dipaksa buka masker oleh keluarga pasien penderita TBC karena ditengarai pelayanan yang kurang tanggap.
Kasus-kasus semacam ini mungkin banyak yang tidak terangkat ke permukaan. Masyarakat akar rumput 'dipaksa' menikmati akses yang sulit dalam memeroleh fasilitas kesehatan yang memadai. Masyarakat sering menelan pil pahit ketika terjebak dalam label sistem kekuasaan si lemah dan si kuat.
Kita beralih ke supremasi hukum di Indonesia yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Masyarakat juga belum lupa banyak kasus-kasus hukum janggal dalam sistem peradilan kita. Kasus yang mencuat baru-baru ini.
Seorang diplomat muda Kemenlu RI Arya Daru Pangayunan yang pernah menangani kasus tindak pidana perdagangan manusia yang hingga kini kasusnya masih tanda tanya serta penuh misteri.
Kemudian terkait intoleransi. Masih terdengar kasus-kasus intoleransi yang terjadi di negara kita. Kegagalan negara dalam menciptakan ruang aman untuk setiap warga yang berdasar Pancasila ini masih dirasakan dan terus terjadi. Mayoritas yang selayaknya menjadi pengayom malah sebaliknya, menjadi pengancam.
Masih banyak hal-hal lain yang bisa ditelusuri sebagai bahan evaluasi dan perenungan bersama sebagai bangsa yang baru saja berulang tahun ke-80. Tentu kita bersama ingin negara ini bukan malah mundur tetapi mengupayakan sedemikian rupa untuk mendorong kemajuannya dengan kita yang menjadi agen perubahan itu sendiri.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!