Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apakah Pengungsi Rohingya Beban Ekonomi Negara?

29 Januari 2024   17:18 Diperbarui: 29 Januari 2024   17:19 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.voaindonesia.com

Dalam wawancaranya dengan wartawan Tribun Dhaka, Nay San Lwin, seorang aktivis terkenal Rohingya yang tinggal di London, menjelaskan kondisi muslim Rohingya. Dia menyatakan bahwa sejak kudeta militer 1962, orang-orang Rohingya telah menghadapi diskriminasi rasial. Lebih dari 250 ribu orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh setelah operasi besar-besaran "Dragon King" untuk mengusir orang Rohignya pada tahun 1978. Sejak saat itu, mereka telah kehilangan banyak hak dasar. Selanjutnya, undang-undang kependudukan baru yang diberlakukan pada tahun 1982, memaksa orang Rohingya untuk kehilangan kewarganegaraan mereka di negaranya sendiri. Kemudian, pada tahun 1992, junta militer menerapkan pembatasan keras dan memaksa mereka hidup di penjara terbuka.

Berdasarkan hal ini, sangat memprihatinkan tatkala melihat beberapa orang yang mengaku intelektual (mahasiswa) di Aceh berkata kepada pengungsi Rohingya, "Pulang sana ke negara kalian!". Padahal, mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Muslim Rohingya juga telah hidup terombang-ambing di lautan karena ditolak oleh negeri-negeri muslim lainnya.

Muslim Rohingya akhirnya berjuang sendiri. Negara penerima pengungsi yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967 pun masih belum menerima Rohingya. Di antaranya adalah Australia, Selandia Baru, Jepang, beberapa negara Timur Tengah, beberapa negara Asia Tenggara, negara-negara di Eropa, dan Kanada. Pertanyaannya adalah, benarkah Rohingya merupakan beban bagi negara mereka, terutama dari segi ekonomi?

Semua sikap negara tersebut disebabkan oleh adanya paham nasionalisme. Nasionalisme telah menjadi tembok yang tinggi dan kuat sehingga pemimpin negeri muslim tidak dapat membantu muslim Rohingya. Mereka juga melihat Rohingya sebagai beban ekonomi dan mengusir Rohingya dari setiap wilayah pantai negeri Muslim. Jika ada yang menerima, mereka melakukannya dengan terpaksa dan menempatkan Rohingya di kamp-kamp yang tidak layak, bahkan menolak hak-hak dasar mereka. Pada akhirnya, Rohingya terlibat dalam lingkaran setan geopolitik yang melibatkan banyak kekuatan, baik regional ataupun internasional.

Lebih miris lagi melihat para penguasa muslim di seluruh dunia tidak berbuat banyak untuk menghentikan penderitaan muslim Rohingya. Setelah ditindas karena menjadi muslim demi menjaga agama dan diri mereka sendiri, mereka justru dihina dengan kata-kata yang menyakitkan. Padahal, Rasulullah saw. telah bersabda, "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak (boleh) menzaliminya dan tidak (boleh) mengabaikannya." (HR Muslim)

Selain itu, sistem demokrasi sekuler yang diterapkan di berbagai negara saat ini membuat permintaan Ditjen HAM untuk menangani Muslim Rohingya dengan mengutamakan kemanusiaan tidak akan pernah bisa terwujud. Realitanya, sistem demokrasi menghasilkan banyak individu yang individualistis. Sistem demokrasi juga membuat para penguasa minim empati, atau bahkan bebas mengambil hak-hak dasar rakyat melalui kebijakan yang dibuatnya.

Tidak adanya kesatuan negara Islam (Khilafah) membuat hilangnya pelindung dari negeri-negeri muslim. Hal ini juga menjadi penyebab teraniaya dan terusisnya kaum muslim sehingga memunculkan jutaan imigran, serta gelombang pengungsi dan deportasi. Di bawah status pengungsi, kaum muslim dipaksa menghadapi ancaman hidup dan kesengsaraan yang abadi.

Ketika Islam ditegakkan dalam sebuah negara Khilafah, setiap warga negara diberi hak kewarganegaraan yang sama, terlepas dari agama, ras, atau etnis mereka. Khilafah justru akan menyambut orang yang mencari suaka ke wilayahnya dan menghukum pihak yang menganiaya mereka. Selain itu, kebijakan nasional Khilafah akan membantu menyatukan dan menyelaraskan berbagai komunitas. Ini adalah representasi asli dari kemanusiaan. Khilafah juga akan menyatukan dan menciptakan keselarasan dari berbagai keberagaman masyarakat melalui kebijakan dalam negerinya. Inilah makna kemanusian yang sebenarnya.

H.G. Wells, seorang penulis Inggris, menulis tentang Khilafah dengan mengatakan, "Mereka membangun tradisi toleransi yang adil. Mereka menginspirasi orang-orang dengan semangat kemurahan hati dan toleransi. Mereka bersungguh-sungguh dan berkasih sayang. Mereka mengubah masyarakat sebelumnya menjadi lebih manusiawi. Jarang terjadi kekejaman dan ketakadilan sosial. Hal ini tidak seperti yang terjadi pada masyarakat sebelumnya"

Selain itu, Khilafah akan menolak dan menghapus nasionalisme. Sabda Rasulullah saw.,"Bukan dari kami orang yang mengajak kepada golongan, bukan dari kami orang yang berperang karena golongan, dan bukan dari kami orang yang mati karena golongan." (HR Abu Daud).

Selain itu, nasionalisme akan ditolak dan dihapus oleh Khilafah. "Bukan dari kami orang yang mengajak kepada golongan, bukan dari kami orang yang berperang karena golongan, dan bukan dari kami orang yang mati karena golongan." (HR Abu Daud) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun