Mohon tunggu...
Niswana Wafi
Niswana Wafi Mohon Tunggu... Lainnya - Storyteller

Hamba Allah yang selalu berusaha untuk Istiqomah di jalan-Nya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pajak Jadi Alat Negara untuk Memalak Rakyat

9 Januari 2023   16:11 Diperbarui: 9 Januari 2023   16:19 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun telah berganti, namun kemalangan rakyat kian bertambah akibat sejumlah kebijakan yang makin menzalimi mereka. Bagaimana tidak, pemerintah secara resmi telah mengatur tarif baru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan yang mulai berlaku pada 1 Januari 2023. Aturan ini tertuang dalam PP 55/2022 mengenai Penyesuaian Pengaturan di Bidang PPh. (Investor, 28-12-2022)

Adapun objek pajaknya yaitu penghasilan dan tarifnya bersifat progresif. Artinya, makin besar penghasilan wajib pajak, maka pajak yang dibebankan akan lebih besar. Tarif pajak yang baru ini memuat lima tingkatan, yaitu penghasilan hingga Rp60 juta terkena tarif PPh 5%, Rp60 juta---Rp 250 juta (15%), Rp250 juta---Rp500 juta (25%), Rp500 juta---Rp5 miliar (30%), dan di atas Rp5 miliar (35%).

Berdasarkan aturan tersebut, yang membuat rakyat resah saat ini adalah karyawan bergaji Rp5 juta ternyata juga terkena PPh. Jika dihitung dengan ketentuan beleid terbaru, karyawan bergaji Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun, terkena PPh sebesar Rp300 ribu per tahun. Banyak masyarakat yang merespons PP ini dengan mengatakan bahwa selalu saja rakyat susah yang menjadi sasaran, sedangkan pejabat yang kaya malah dibiarkan. Mengapa pengusaha kaya ber-omzet triliunan rupiah justru malah mendapat keringanan pajak? Hal tersebut makin memperlihatkan bahwa pemerintah hari ini kian tidak memihak kepada rakyat kecil.

Padahal saat ini, gaji Rp5 juta per bulan pun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak. Harga pangan pokok, tarif air dan listrik, iuran BPJS, serta sejumlah fasilitas umum (kesehatan ataupun pendidikan), semua masih terbilang mahal dan tidak sebanding dengan gaji yang diperoleh rakyat.

Namun demikian, pemerintah membantah dengan menyatakan bahwa aturan baru ini sama sekali tidak menambah beban rakyat. Sebaliknya, pemerintah justru mengklaim bahwa regulasi baru ini merupakan bukti keberpihakan pemerintah pada masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan masyarakat yang berpenghasilan lebih besar akan dikenakan pajak yang lebih besar pula. Selain itu, pemerintah juga mempertegas bahwa tujuan PPh ini adalah demi meningkatkan pendapatan negara. Walhasil, aturan PPh pada karyawan bergaji Rp5 juta ini adalah untuk negara yang nantinya akan diperuntukkan untuk rakyat juga. Bahkan, pemerintah terus mengimbau agar rakyat taat bayar pajak agar mempermudah negara dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia, mengatakan bahwa pada dasarnya pajak adalah oleh dan untuk rakyat. Pajak yang terkumpul dari rakyat akan digunakan dalam membiayai sektor publik, semisal listrik, BBM Pertalite, dan LPG 3 kg, yang semua itu disubsidi dengan hasil pajak. Fasilitas sekolah, rumah sakit, dan puskesmas pun menggunakan uang pajak. Jalan raya, kereta api, internet, kapal selam, gaji prajurit, polisi, guru, hingga dokter, semuanya adalah dari pajak.

Pemerintah tetap bersikeras mengatakan bahwa pajak semata untuk rakyat. Padahal, rakyat tidak merasakan kebermanfaatan pajak lantaran semua fasilitas yang diklaim dibangun oleh pajak atau disubsidi pajak, faktanya tetaplah mahal. Sebut saja tarif listrik dan air, ataupun Pertalite yang katanya sudah disubsidi, harganya masih saja selangit. Begitu pula akses kereta api, jalan tol, rumah sakit, ataupun sekolah, semuanya berbiaya mahal. Bahkan, rakyat harus membayar iuran BPJS untuk bisa mendapatkan layanan kesehatan. Terlebih jalan tol, sudahlah tarifnya mahal, keberadaannya pun jarang dinikmati rakyat kecil.

Dari persoalan di atas, setidaknya ada dua poin penting yang bisa kita bahas. Pertama, pajak dalam sistem demokrasi merupakan sumber utama pendapatan negara. Negara akan selalu mencari legitimasi untuk menambahnya, termasuk pungutan pajak pada rakyat kecil yang sudah jelas sangat membebani kehidupan mereka.

Di saat yang sama, atas nama liberalisasi kepemilikan, hasil kekayaan alam dapat dimiliki oleh swasta. Salah satu contohnya yakni penguasaan BBM dan batu bara, mayoritas kepemilikannya dikuasai oleh swasta, baik asing maupun lokal. Padahal, tingginya harga BBM dan batu bara sangat berpengaruh pada ongkos produksi tarif dasar listrik lantaran pembangkit listrik PLN banyak menggunakan keduanya. Andai saja keduanya dikelola oleh negara, tarif listrik bisa murah, atau bahkan gratis. Hal tersebut bukan hanya berimbas pada tarif listrik, tetapi juga pada tarif dan harga komoditas lainnya. Transportasi pengangkut barang jelas menggunakan BBM, wajar jika harga komoditas, termasuk sembako, makin tinggi, saat BBM terus naik. Kehidupan rakyat kecil pun makin terimpit dan kemiskinan pun makin menjepit.

Jika angka kemiskinan makin tinggi, kemampuan rakyat untuk membayar pajak pun juga makin melemah. Inilah jalan masuk untuk utang luar negeri. Jika negara sudah berutang, bukan hanya berbicara dosa riba dan beratnya beban negara karena harus bayar pokoknya, melainkan juga kebijakan dalam negeri akan senantiasa berputar pada kepentingan negara donor/pemberi utang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun