Mohon tunggu...
Anissa
Anissa Mohon Tunggu... Buruh - Just like that

Sederhana dan Cukup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bintang

14 Mei 2024   19:01 Diperbarui: 14 Mei 2024   19:11 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semilir angin kala sore itu mengiringi langkah ini menuju halte bus yang amat sepi. Mungkin mereka memilih untuk memakai kendaraan pribadi daripada berdesak-desakan dengan penumpang lain yang tak saling kenal. Aku belum bisa mengendarai kendraan sendiri, meski aku punya, aku belum menyempatkan diri untuk belajar mengendarainya. Dan beginilah aku, sampai kini ke mana saja menggunakan kendaraan umum.

Duduk sendirian, aku menikmati semilir angin sore, ketika matahari  masih menyinari bumi dari arah barat sana. Kini jam telah menunjukkan pukul 05:05, tetapi matahari masih betah di sana. langit di ujung barat tampak memancarkan warna jingga dengan samar semburat kemerahan. Dan aku masih sendiri sampai 5 menit kemudian.

"Hai, sendirian aja."

"Oh, Bintang. Hai, sini duduk."

Aku menepi ke sebelah kiri dan dia duduk di tepi lain dari tempat duduk yang disediakan di halte bus ini. Halte Harjosari 2 adalah salah satu nama halte untuk menunggu BRT TransJaTeng, yang kini menjadi salah satu tempat berarti dalam ingatanku. Berlatar belakang senja dan hadirnya yang tak terduga membawa bahagia tersendiri.

"Mau aku anter? Kita searah kan."Ia memandang ke arahku dan kami saling tatap, ia menawari sambil tersenyum begitu manisnya, sedang aku hanya memasang raut wajah datar. Aku lebih tertarik dengan matanya yang berwarna coklat terang tampak berpendar begitu indah tersorot cahaya matahari yang sebentar lagi tenggelam. Hebatnya aku, dalam kesunyian ini terpaku melihatnya tanpa tersenyum malu atau bahkan memalingkan muka seperti yang biasa aku lakukan saat ia menatap mataku. 


"Thanks, ga perlu. Aku biasa naik bus, ga apa." Aku menggeleng untuk meyakinkan bahwa aku sungguh tak apa pulang sendiri. Mendengar jawabanku ia mengalihkan pandangan menatap ke atas, entah apa yang ia lihat. Tapi tampak agak, kecewa, benarkah? Aku sungguh tak tahu isi hatinya.

"Kamu darimana? Kok liat aku di sini," kakiku yang tak begitu panjang ini bisa kuayunkan pelan, dengan kedua tanganku bertumpu pada besi memanjang yang dijadikan tempat duduk ini.

"Aku tadi baru isi bensin, tuh motornya di situ." Telunjuk tangan kanannya menunjuk ke arah tempat parkir yang disediakan di sekitar pom bensin, yang letaknya memang tak jauh dari halte ini. Aku mengangguk setelah memastikan bahwa yang terparkir di sana memang sungguh sepeda motornya. Pantas saja ia tadi datang dari arah kanan halte menurut sudut pandangku yang duduk di sana.

"Kita udah lama ya, ga ngobrol bareng, seperti beberapa minggu lalu." Aku memandang ke arah depan, lalu lintas yang tak begitu padat, tapi cukup menimbulkan kebisingan setiap mereka melalui jalan di depan kami. Walau begitu, aku sadar ia memandangku tanpa henti, oh Tuhan tolonglah, hentikan tindakan dia itu, begitu yang hanya bisa aku katakan dalam hati saja.

"Kita kan sering ketemu Tang, kita juga satu tim."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun