Di era modernisasi yang serba cepat dan penuh tantangan ini, umat manusia dihadapkan pada tantangan yang cukup besar besar. Di satu sisi, kemajuan teknologi dan globalisasi menawarkan kemudahan, konektivitas, dan peluang yang tidak terbatas. Namun, di sisi lain, kita menyaksikan krisis multidimensi yang semakin nyata, seperti degradasi lingkungan, ketidakstabilan sosial, dan krisis spiritualitas yang mendalam sehingga banyak yang berpikir bahwa ajaran agama tidak perlu dipelajari ataupun dipertahankan lagi. Kemudian banyak juga orang yang merasa terasing dari diri sendiri, dari orang lain, dan dari alam. Dari hal tersebut timbullah masalah kesenjangan sosial melebar, konflik berbasis SARA terus menghantui, dan eksploitasi alam mencapai puncaknya. Dalam kondisi ini, relevansi kearifan lokal kuno patut dipertanyakan kembali. Salah satu filosofi yang menawarkan jawaban yang tepat dan mendalam adalah Tri Hita Karana, sebuah konsep ajaran agama Hindu di Bali yang telah teruji melintasi zaman. Tri Hita Karana secara harfiah berarti "tiga penyebab kebahagiaan" (tri artinya tiga, hita artinya kebahagiaan, karana artinya penyebab). Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan sejati hanya dapat dicapai melalui keseimbangan harmonis antara tiga hubungan fundamental dalam kehidupan: hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan sesama (Pawongan), dan hubungan manusia dengan alam (Palemahan). Lebih dari sekadar ajaran normatif, Tri Hita Karana adalah sebuah sistem ajaran yang telah membentuk tata ruang, sosial, dan spiritual masyarakat Bali selama berabad-abad. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana filosofi kuno ini tidak hanya relevan, tetapi juga dapat menjadi solusi modern untuk memelihara intensitas keberagamaan serta keseimbangan fundamental bagi umat beragama hindu  di tengah derasnya arus modernisasi.
 Parahyangan, Memelihara Intensitas Spiritualitas di Tengah Gempuran Distraksi
Aspek Parahyangan menekankan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) beserta segala manifestasinya. Di era modern, intensitas hubungan ini seringkali merosot. Berbagai distraksi mulai dari media sosial, kesibukan karier, hingga gaya hidup konsumtif menjadikan ritual keagamaan terasa hampa dan kehilangan makna. Jadwal yang padat dan orientasi materialistis membuat banyak orang menganggap ibadah sebagai formalitas belaka.Tri Hita Karana menawarkan solusi. Parahyangan bukan hanya tentang pergi ke pura atau menghaturkan sesaji, melainkan tentang kesadaran spiritual yang berkesinambungan. Ini adalah upaya untuk menjaga "intensitas" rasa syukur, penghormatan, dan penyerahan diri di setiap aspek kehidupan. Melalui ritual, upacara, dan yadnya (persembahan tulus ikhlas), umat Hindu secara kolektif dan individual diingatkan untuk selalu terhubung dengan sumber kehidupan. Intensitas ini tidak dibangun hanya di tempat suci, tetapi juga di rumah, di kantor, dan di mana pun berada. Ketika manusia menyadari bahwa setiap napas, setiap makanan, dan setiap rezeki adalah anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa , maka intensitas spiritualitas umat beragama hindu akan terjaga. Parahyangan mengajarkan bahwa beragama bukanlah sekadar identitas, melainkan praktik kesadaran yang terus-menerus. Ini adalah kunci untuk menemukan ketenangan batin dan tujuan hidup di tengah hiruk-pikuk modernitas.
 Pawongan, Keseimbangan Sosial di Tengah Polarisasi dan Individualisme
Aspek Pawongan berfokus pada hubungan harmonis antara manusia dengan sesamanya. Modernisasi, sayangnya, sering kali memunculkan individualisme ekstrem dan polarisasi sosial. Teknologi yang seharusnya menghubungkan justru menciptakan gelembung filter yang memperkuat prasangka dan mengurangi empati. Konflik seringkali timbul karena kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan.Tri Hita Karana melalui Pawongan, menawarkan kerangka kerja untuk membangun kembali hubungan sosial. Konsep ini menekankan pentingnya gotong royong (berbasis pada nilai menyama braya atau persaudaraan), toleransi, dan saling membantu. Di Bali, Pawongan terwujud dalam berbagai bentuk, seperti sistem subak yang mengatur irigasi sawah secara adil, tradisi sekaa (kelompok sosial) yang mengurus berbagai kegiatan adat, serta upacara-upacara  yang memperkuat rasa kebersamaan. Pawongan mengajarkan bahwa kesejahteraan individu tidak bisa dicapai tanpa kesejahteraan kolektif. Dalam konteks modern, hal ini sangat relevan sebagai penangkal individualisme. Dengan memelihara Pawongan, kita diajarkan untuk melihat orang lain bukan sebagai pesaing, melainkan sebagai bagian dari keluarga besar umat manusia. Intensitas hubungan ini dapat dipelihara melalui dialog antarbudaya, proyek-proyek sosial, dan penguatan institusi berbasis komunitas. Keseimbangan sosial ini merupakan fondasi untuk menciptakan masyarakat yang adil, damai, dan berempati, di mana setiap orang merasa diakui dan dihargai.
 Palemahan, Menjaga Keseimbangan Alam di Tengah Krisis Ekologi
Aspek Palemahan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan alam atau lingkungan. Ini adalah salah satu pilar Tri Hita Karana yang paling bermasalah di era modern, di mana krisis iklim dan kerusakan lingkungan menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup. Model pembangunan yang berorientasi pada eksploitasi alam tanpa batas telah merusak ekosistem, mencemari air, dan menghilangkan keanekaragaman hayati. Filosofi Palemahan menyediakan sebuah tentang pehaman lingkungan yang unik. Ia memandang alam bukan sebagai objek untuk dieksploitasi, melainkan sebagai entitas suci, manifestasi dari Tuhan. Konsep ini mengajarkan bahwa menjaga alam adalah bagian dari dharma (kewajiban suci) dan yoga (penyatuan diri dengan semesta). Ritual-ritual seperti tumpek uduh (upacara untuk tumbuhan) dan tumpek kandang (upacara untuk hewan) bukanlah sekadar tradisi, melainkan cara untuk menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya merawat alam. Palemahan menawarkan solusi yang berkelanjutan untuk krisis lingkungan. Alih-alih hanya berfokus pada regulasi dan teknologi, ia mengajak manusia untuk membangun hubungan batin dengan alam. Dengan melihat gunung, laut, dan hutan sebagai bagian dari diri sendiri (Bhuana Alit dan Bhuana Agung), intensitas kepedulian terhadap lingkungan akan meningkat secara organik. Solusi modern yang bisa diintegrasikan adalah menerapkan konsep green building berbasis arsitektur tradisional Bali, mengembangkan pariwisata berkelanjutan yang berbasis komunitas, dan mengedukasi generasi muda tentang pentingnya konservasi dari perspektif spiritual. Keseimbangan dengan alam bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan masa depan yang lestari.
Hubungan Tri Hita Karana sebagai Pembangun Sikap Bangga Terhadap Umat Beragama Hindu di Era Modern iniH
Sebagai umat beragama Hindu kita tentunya harus memupuk rasa bangga dalam diri kita, kenapa kita harus memupuk rasa bangga dalam diri hal ini timbul karena adanya beberapa masalah yang selalu datang silih berganti yang berhubungan dengan perilaku ataupun sikap kita dalam memahami serta mengamalkan nilai dari ajaran agama kita. Maka dari itu kita harus memahami ajaran ataupun konsep dalam agama kita, khususnya agama Hindu. Sebenarnya ajaran agama Hindu yang mengajarkan tentang perilaku atau sikap itu saling berkesinambungan, contohnya itu seperti ajaran dharma, kemudia ada ajaran karmaphala, dan yang paling sering disoroti adalah ajaran Tri Hita Karana. Ajaran Tri Hita Karana sering disoroti karena dalam najaran ini kita dituntun agar memiliki sikap yang harmoni, dimana kita mampu menjalin hubungan yang baik dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kepada sesama, dan kepada lingkungan alam kita. Tri Hita Karana sendiri merupakan salah satu simbol yang memiliki peran penting dalam ajaran agama Hindu. Kemudia bagaiman hubungan ajaran Tri Hita Karana dapat membangun sikap bangga umat beragama Hindu apalagi di era globalisasi atau modern ini. Hubungan ajaran ini dengan sikap dapat kita cermati melalu bagian – bagiannya seperti pada prahyangan kita sebegai umat hindu tentunya harus memiliki sikap bangga terhada tradisi serta upacara yang kita miliki terlebih lagi pada era globalisasi ini,yang dimana rasa bangga kita dengan tradisi serta upacara kita dapat kita tuangkan dalam media sosial baik secara dokumentar yang nantinya akan menyebabkan orang – orang mengetahui bagaimana keunikan tradisi ataupun upacara yang kita miliki, ini adalah salah satu upaya kita sebagai generasi ,uda untuk menunjukan bagaimana kita bangga beragama hindu dalam bagian prahnyangan karena selain kita berbakti dengan tuhan kita juga memberikan benefit terhadap perkembangan agama Hindu. Kemudian bagian selanjutnya adalah pawongan, pawongan adalah bagaimana cara kita menjalin hubungan yang baik dengan sesama apalagi di era globalisasi ini yang menjadi salah satu masalah yang cukup besar, karena banyak sekali kesalahpahaman yang terjadi contohnya seperti perbedaan pendapat, saling memberikan ujaran kebencian atau saling membully antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai umat beragama Hindu tentunya kita harus memahami dengan baik bagian pawongan ini karengan pawongan dapat kita kaitkan juga dengan ajaran Tat Twam Asi yang ajaran ini memberikan kita pemahaman bahwa semua orang yang ada di dunia ini sama dan tidak ada bedanya. Tidak hanya itu umat beragama Hindu juga percaya dengan hukum
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI