Mohon tunggu...
Nino Purna
Nino Purna Mohon Tunggu... Penulis - 08970840619

Time is running out

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siang dan Malam yang Terlewatkan

1 Juni 2022   13:06 Diperbarui: 1 Juni 2022   13:14 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, tak pernah diceritakan Kasmin pada siapa pun. Ketika dilihat langit yang mendung dan semakin mendung, Ia berharap pada langit, itu pasti. Karena ketika ia kerahkan seluruh tenaganya, sedangkan cuaca cerah itu akan cukup membuatnya sampai esok pagi, dirasakannya udara yang nyaman sampai ke pelupuk kepala, dan bukan hujan yang senantiasa menggugurkan semangatnya. 

Walau pada dasarnya semangatnya sulit untuk padam, dan ketika cangkul itu menari di bawah bulan, yang tampak indah, semua haru akan segera terlewati.

Sudah seminggu semenjak kali itu, Kasmin tidak pulang rumah. Di hari ketika anak semata wayangnya mati, sedangkan ia tak punya apa-apa lagi selain istri yang gemar bermain dengan laki-laki lain. 

Kasmin tak mau lagi kembali ke gubuk tua itu, karena baginya rumah adalah tempat yang nyaman, dan gubuk tua di sudut desa itu bukanlah rumahnya, melainkan di sini, di antara bukit-bukit lebat, yang diselingi pohon segar tak jauh dari sungai. Masalah bagaimana Kasmin hidup sekiranya tidak perlu ditanyakan, karena semenjak kecil dia diajarkan tentang hidup tanpa bantuan apa pun. 

Dia memiliki jiwa pemburu, walau usianya yang sudah tidak belia lagi—hanya sebatas ambisi-ambisinya yang tersisa. Semasa kecilnya, pernah dia memimpikan dia akan menempati apa yang hatinya inginkan, menikmati, memaknai arti dari setiap kejadian. Dia tidak pernah memikirkan tentang duniawi, dia hanya suka dengan kesederhanaan. 

Apabila di atas akan jatuh dan yang bawah akan terinjak, maka kesederhanaan adalah suatu tempat yang teduh—aman dari kedua itu; mungkin seperti itu yang ada dalam benaknya. Dia seolah tidak memiliki arti kenikmatan yang pasti, bahkan dia seakan menikmati ketidaknikmatan dari hidupnya. Dia tidak pernah mau diam, karena baginya: bermalas-malasan adalah petaka. Maka dia tidak pernah meninggalkan gergaji dan cangkulnya.

***

Kurasa hari ini sudah cukup. Kayu bakar, kelapa, babi hutan, daun pisang, atau mungkin bisa kubuat rumah di sini, tanyaku dalam hati. Ahh tapi hari ini sudah terlalu larut, mungkin bisa kupikirkan besok pagi. Sangat nyaman dan kurasa aku bisa terlelap dengan cepat malam ini.

Tapi entah mengapa kali ini, seperti ada sesuatu yang tak mau hilang dari benakku. “Siapa di sana,” ucapku perlahan. Ah mungkin saja hanya hantu atau mungkin saja anjing yang tidak sengaja menginjak ranting—hal ini cukup untuk membuat buluku merinding. Aku berharap kali ini aku dapat tidur dengan cepat, karena aku sudah tidak punya banyak waktu. Ketika langit menyala aku harus bergegas dan memainkan kembali gergaji dan cangkulku.

Malam semakin larut dan tentunya semakin hening, tapi aku tidak juga segera mematikan api dan berbaring di atas daun pisang. Malam ini semakin hening dan sunyi sehingga suara-suara alam semakin nyaring di telingaku. Bunyi jangkrik, angin yang menabrakkan dirinya pada pepohonan, suara burung hantu, lolongan anjing. Suara-suara itu mungkin menakutkan, tapi mungkin juga sangat cocok untuk penghantar tidur, tapi mengapa aku tidak juga segera mematikan api dan berbaring di atas daun pisang.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun