Mohon tunggu...
Ninin Rahayu Sari
Ninin Rahayu Sari Mohon Tunggu... https://nininmenulis.com

Former Journalist at Home Living Magazine n Tabloid Bintang Home - Architecture Graduate - Yoga Enthusiast - Blogger at www.nininmenulis.com - Coffee Addict - Morning Person

Selanjutnya

Tutup

Book

Kebijakan Hebat Tidak Lahir dari Kepala yang Kosong Bacaan

28 September 2025   11:11 Diperbarui: 27 September 2025   11:47 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku teringat ketika dulu turut menyeleksi reporter baru, ada satu pertanyaan yang selalu aku ajukan kepada calon peserta, "Suka baca buku?" dan "Suka baca buku apa?". Bagi sebagian orang mungkin pertanyaan itu terdengar sepele, bahkan remeh. Tapi bagiku, itu justru pertanyaan paling penting untuk menakar kualitas seseorang. Pengalamanku sebagai wartawan mengajarkan, orang yang gemar membaca buku biasanya punya kecakapan lebih dalam berbicara dan menulis. Kosakata mereka lebih kaya, sudut pandangnya lebih luas, dan argumen yang mereka bangun lebih kokoh.

Itulah mengapa membaca buku bagiku bukan sekadar hobi atau pengisi waktu luang, melainkan fondasi bagi kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Lalu pertanyaan ini kemudian muncul dengan sendirinya, "kalau membaca buku bisa membuat orang biasa jadi punya keluasan pikiran, seberapa dekat pejabat kita dengan buku?"

Pertanyaan itu mungkin terdengar retoris, tapi jadi relevan ketika kita melihat keseharian para pejabat kita. Di media sosial, kita sering disuguhi pamer kemewahan, mulai dari arloji mahal, mobil mewah, sampai gaya hidup berlebihan. Tapi coba kita amati, seberapa sering mereka memamerkan buku? Hampir tidak pernah. Ironis, sebab dari bacaanlah lahir gagasan besar yang dibutuhkan untuk memimpin bangsa. Dari buku-buku sejarah, kita bisa belajar tentang kebesaran dan kejatuhan peradaban. Dari buku filsafat, kita belajar menimbang moral dan etika. Dari buku ekonomi, kita memahami arah pembangunan. Dan dari buku-buku sastra, kita bisa menumbuhkan empati terhadap sesama.

Namun, ketika pejabat jauh dari buku, kebijakan yang mereka lahirkan pun cenderung reaktif, dangkal, dan jangka pendek. Mereka lebih sibuk menambal lubang masalah ketimbang menata jalan panjang pembangunan. Padahal, bangsa sebesar Indonesia tidak bisa dikelola hanya dengan insting sesaat atau sekadar mengikuti tren politik. Diperlukan visi panjang yang hanya bisa lahir dari pemikiran mendalam, dan pemikiran mendalam hanya mungkin muncul dari kebiasaan membaca.


Membaca Buku Sebagai Latihan Kepemimpinan

Mungkin ada yang bertanya, apa hubungannya membaca buku dengan kepemimpinan? Bukankah pemimpin harus terjun langsung ke lapangan, bukan sekadar membaca? Pertanyaan ini sah-sah saja, tapi mari kita renungkan. Seorang pemimpin yang hanya mengandalkan pengalaman tanpa pengetahuan bisa jatuh pada jebakan kesalahan yang sama. Sebaliknya, pemimpin yang rajin membaca akan mampu menghubungkan pengalaman lapangan dengan wawasan luas dari para pemikir besar di dunia.

Ambil contoh Bung Karno. Ia dikenal sebagai seorang orator ulung sekaligus pemimpin dengan visi besar. Dari mana ia mendapatkan itu semua? Dari buku. Ia membaca habis-habisan karya Karl Marx, Lenin, sampai Thomas Jefferson. Ia juga menyerap pemikiran filosof Islam dan Hindu. Dari perpaduan itulah lahir gagasan besar seperti Pancasila. Bung Hatta juga sama. Ia dikenal kutu buku sejati, sampai-sampai diasingkan ke Digul pun ia tetap tekun membaca. Baginya, buku adalah sahabat sekaligus guru yang setia.

Bandingkan dengan banyak pejabat kita hari ini. Tidak sedikit yang tampak kebingungan saat diminta menjelaskan alasan di balik kebijakan. Ada yang asal bunyi ketika bicara di publik, ada yang menjawab dengan emosi alih-alih argumentasi. Ketika ditanya wartawan, bukannya memberi penjelasan logis, malah melempar kata-kata singkat yang lebih mirip bahan guyonan. Itu semua adalah tanda miskinnya asupan pengetahuan.

Kalau membaca satu buku saja sulit, bagaimana mereka bisa mengelola kompleksitas negara selama lima tahun masa jabatan? Apakah kebijakan yang lahir benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar respons spontan terhadap desakan situasi?


Krisis Literasi, Krisis Kebijakan

Indonesia sendiri sering disebut punya tingkat literasi yang rendah. UNESCO pernah merilis data bahwa minat baca orang Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari seribu orang, hanya satu yang benar-benar gemar membaca. Kalau masyarakat biasa saja masih begitu rendah minat bacanya, bagaimana dengan pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan?

Kebijakan publik yang berkualitas lahir dari perenungan panjang dan pengetahuan yang mendalam. Jika pejabat tidak membaca, mereka kehilangan bahan baku utama untuk membuat keputusan. Hasilnya, kebijakan cenderung tambal sulam. Hari ini keluar aturan baru, besok sudah direvisi lagi. Hari ini bilang A, besok jadi B. Masyarakat pun bingung karena kebijakan berubah-ubah tanpa arah jelas.

Mari kita lihat fenomena di lapangan. Ketika terjadi krisis, sering kali pejabat kita hanya mengandalkan rapat dadakan, mendengarkan laporan singkat, lalu memutuskan sesuatu dalam waktu terburu-buru. Bandingkan dengan negara-negara lain, di mana pemimpinnya rajin membaca laporan, mempelajari literatur, bahkan mendalami teori-teori tentang krisis serupa di masa lalu. Mereka punya referensi yang kaya, sehingga bisa mengambil keputusan lebih matang.

Seorang pejabat yang tidak terbiasa membaca buku akan miskin imajinasi kebijakan. Mereka hanya bergerak dalam lingkaran yang sempit, tanpa mampu membayangkan kemungkinan baru. Padahal, tugas pemimpin adalah membuka jalan, bukan sekadar mengikuti arus.

Selain memperluas pengetahuan, membaca buku juga menumbuhkan empati. Lewat buku, kita bisa masuk ke kehidupan orang lain, merasakan penderitaan mereka, memahami perasaan mereka. Hal ini sangat penting bagi pejabat publik. Bagaimana mungkin mereka bisa membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil kalau tidak bisa merasakan apa yang dirasakan rakyat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun