Mohon tunggu...
Ninin Rahayu Sari
Ninin Rahayu Sari Mohon Tunggu... https://nininmenulis.com

Former Journalist at Home Living Magazine n Tabloid Bintang Home - Architecture Graduate - Yoga Enthusiast - Blogger at www.nininmenulis.com - Coffee Addict - Morning Person

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kebijakan Hebat Tidak Lahir dari Kepala yang Kosong Bacaan

28 September 2025   11:11 Diperbarui: 29 September 2025   14:17 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sastra, misalnya, memberi pelajaran besar tentang empati. Membaca novel Pramoedya Ananta Toer membuat kita merasakan getirnya perjuangan melawan kolonialisme. Membaca cerita Tere Liye membuat kita ikut hanyut dalam konflik keluarga dan kehidupan sehari-hari. Semua itu melatih kepekaan hati.

Bayangkan seorang pejabat yang hanya sibuk membaca laporan birokrasi, tanpa pernah membaca buku sastra atau sejarah. Ia mungkin tahu angka-angka, tapi ia tidak merasakan penderitaan di balik angka itu. Ia bisa berkata, "Kemiskinan turun dua persen," tanpa benar-benar memahami bahwa di balik angka itu ada jutaan keluarga yang tetap kesulitan makan.

Buku mengajarkan kita untuk melihat manusia sebagai manusia, bukan sekadar data. Dan hanya dengan empati itulah kebijakan bisa benar-benar menyentuh kehidupan rakyat.


Membaca sebagai Bentuk Rendah Hati

Ada satu sifat penting yang sering hilang dari pejabat kita yakni kerendahan hati untuk terus belajar. Membaca buku adalah pengakuan bahwa pengetahuan kita terbatas. Bahwa selalu ada orang lain yang lebih dulu memikirkan, menulis, dan meneliti sesuatu. Dengan membaca, pejabat mau membuka diri pada pandangan baru, bukan merasa dirinya paling benar.

Sayangnya, banyak pejabat kita justru terjebak pada ego. Mereka merasa sudah cukup pintar hanya karena menduduki jabatan. Mereka lebih suka tampil di depan kamera daripada duduk diam membuka buku. Padahal, bangsa yang besar tidak lahir dari pemimpin yang sok tahu, melainkan dari pemimpin yang mau terus belajar.

Kerendahan hati ini juga akan tercermin dalam cara pejabat berbicara. Pejabat yang rajin membaca biasanya punya pilihan kata yang lebih santun, argumentasi yang lebih runtut, dan cara menyampaikan pendapat yang lebih tenang. Mereka tidak mudah tersulut emosi karena terbiasa menimbang pikiran lewat tulisan orang lain.

Pertanyaan terakhir yang sering muncul, buku apa sih yang sebaiknya dibaca pejabat kita? Jawabannya tentu banyak. Kalau mau belajar kepemimpinan, mereka bisa membaca Leaders Eat Last karya Simon Sinek atau Good to Great karya Jim Collins. Kalau mau melatih kemampuan berbicara, ada Talk Like TED karya Carmine Gallo. Kalau mau memahami kebijakan publik, bisa membaca Public Policy karya Michael E. Kraft dan Scott R. Furlong.

Tapi sebenarnya, tidak ada batasan. Pejabat perlu membaca semua jenis buku, mulai dari sejarah, filsafat, ekonomi, psikologi, sampai sastra. Semakin banyak yang dibaca, semakin kaya pula perspektifnya. Dengan pembendaharaan kata yang luas, pengetahuan yang mendalam, dan empati yang terasah, pejabat bisa benar-benar menjalankan amanah rakyat.

Saat ini mungkin sulit berharap pejabat kita yang sudah terbiasa hidup tanpa buku tiba-tiba berubah menjadi kutu buku. Tapi kita bisa berharap pada generasi baru. Anak-anak muda yang kini sedang tumbuh, yang kelak akan menduduki kursi kekuasaan, semoga punya kedekatan lebih erat dengan buku.

Di sinilah peran masyarakat, sekolah, keluarga, dan juga media. Kita perlu mengembalikan kebiasaan membaca sebagai sesuatu yang keren. Bukan hanya pamer gadget atau liburan mewah, tapi juga pamer buku yang sedang dibaca. Kita perlu menormalisasi diskusi tentang buku di ruang publik. Kalau warganet bisa ramai memperdebatkan drama Korea atau film Hollywood, mengapa tidak bisa ramai membicarakan isi buku?

Generasi baru yang terbiasa membaca akan tumbuh dengan wawasan lebih luas. Dan ketika mereka kelak jadi pejabat, kita bisa berharap kebijakan yang lahir pun lebih bijak.

Pada akhirnya, membaca buku bukan soal gaya atau pencitraan. Membaca buku adalah soal tanggung jawab moral. Pejabat yang membaca buku menunjukkan bahwa ia serius mengasah pikirannya demi kepentingan bangsa. Sebaliknya, pejabat yang jauh dari buku hanya akan melahirkan kebijakan asal-asalan, reaktif, dan miskin visi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun