Aku tertawa getir. Anak kedua? Kali ini aku tidak berani memberi saran. Ia berkata, "Aku mau piawai akuntansi seperti Papa!"
Dan aku biarkan saja. Lalu, si bungsu—aku hanya berdoa dalam hati. Suatu hari, aku ditugaskan kepsek mendampingi guru Biologi mengantar siswa ke fakultas kedokteran sebuah universitas negeri. Di sana aku berdoa diam-diam, "Aku ingin anakku bisa masuk di sini."
Aku bahkan berkata ke teman guru, "Aku ingin kelak anakku di sini."
Waktu itu, si bungsu baru masuk SMA. Ternyata, dari semua anak, justru dia yang punya cita-cita masuk kedokteran. Dan ia berhasil! Tak hanya lulus sebagai dokter, ia kini menjadi dosen —bahkan kepala laboratorium tempat aku dulu berdoa.
Ada juga cerita tentang rumah bagus di kampung suami. Katanya, pemiliknya pegawai bank ternama. Diam-diam aku ingin salah satu anakku bekerja di bank tersebut. Setiap kali melewati kantor pusat bank itu, aku berbisik dalam hati, "Aku ingin anakku ada yang kerja di sini."
Lalu, Allah menjawab. Anak sulungku diterima di bank tersebut. Rasanya ... seperti merinding. Betapa luar biasa kuasa-Nya.
Masih banyak asa dan doa yang kusebut dalam lintasan waktu, dan tak sedikit yang dikabulkan dengan cara tak terduga. Maka, kini aku benar-benar percaya—kata adalah doa. Bahkan ketika kita tak sadar saat mengucapkannya, langit tetap mencatatnya.
Karenanya, jangan sembarangan bicara. Ucapkanlah yang baik. Sebab siapa tahu, kelak akan menjadi kenyataan.
Soli Deo Gloria.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI