Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, Asrar Atma, dll. Buku solo 31 judul, antologi berbagai genre 193 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kata adalah Doa

25 Mei 2025   18:22 Diperbarui: 26 Mei 2025   05:30 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kata adalah Doa

Kalau hal ini kutulis, bukan untuk pamer, melainkan sebagai bentuk kesadaran dan penyadaran akan campur tangan Allah dalam hidup umat-Nya. Segala sesuatu memang telah tertulis dalam blueprint-Nya—skenario agung yang sering kali luput dari pengamatan kita.

Sudah sejak lama aku merenung, bahwa apa pun yang pernah kuinginkan semasa kecil hingga remaja, perlahan-lahan ternyata diijabah oleh-Nya. Ya, seperti kata orang: kata-kata adalah doa. Padahal, waktu mengucapkannya dulu, aku tak paham makna di baliknya. Hanya sekadar celetukan, tanpa harap, tanpa rencana.

Saat umur sepuluh tahun, aku diajak ke kota Malang. Malam itu, bersama saudara lelaki, aku melihat petasan berwarna-warni. Tanpa sadar aku nyeletuk, "Besok kalau sudah besar, aku ingin hidup di sini (Malang)."

Beberapa tahun kemudian, saat seorang saudara hendak pindah ke Malang dan berpamitan, aku kembali berkata, "Aku juga pingin pindah ke Malang!"

Tak pernah kuduga, celetukan itu menjadi kenyataan. Usia sembilan belas tahun, aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Malang. Dan bukan hanya kuliah—aku pun dinikahi oleh seorang pria asli kota itu. Kini, sudah setengah abad kami hidup bersama.

Contoh lain: aku pernah bilang kepada nenek bahwa aku ingin menikah dengan anak tunggal. Alasanku polos saja—karena warisannya pasti untuk si anak satu-satunya itu. Dan benar saja, aku dinikahi anak tunggal.

Aku juga pernah bermimpi menjadi dokter. Namun, keadaan ekonomi keluarga membuatku harus menelan pil pahit. Lulus SMP, aku masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru) bukan SMA. Saat itu aku berkata dalam hati, "Baiklah ... tapi aku tak mau jadi guru SD. Aku mau jadi guru SPG!"

Dan benar, setelah lulus kuliah, aku menjadi guru di salah satu SPG swasta di Malang.

Karena tak bisa menjadi dokter, aku bertekad: "Kalau bukan aku, biarlah anakku yang jadi dokter."

Kukerahkan tenaga dan waktu untuk bekerja keras demi dana pendidikan anak. Tapi ketika sulungku lulus SMA dan kusarankan masuk kedokteran, jawabnya justru, "Yang pingin jadi dokter kan Mama, kenapa minta aku yang masuk? Mama sajalah! Aku mau belajar matematika!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun