Mohon tunggu...
Ninid Alfatih
Ninid Alfatih Mohon Tunggu... Guru - ibu 3 anak

just a reader

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

KH Abdurrochim Chasbullah, Potret Perkawinan Antara NU dan Muhammadiyah

3 April 2015   11:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:35 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KH Abdurrochim adalah putra ke 4 dari 8 bersaudara pasangan KH Chasbullah Said dan Nyai Lathifah. Orang tua yang melahirkan dan membesarkan KH Wahab Chasbullah beserta adik-adiknya di dusun Tambakberas. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, beliau lahir dan besar di Tambakberas Jombang dan melewati masa pendidikannya di beberapa pesantren, diantaranya di PP Termas Pacitan dan PP Mojosari Nganjuk.

KH Abdurrochim merupakan fenomena yang unik dalam kaitan hubungan antara organisasi massa terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Kedua organisasi yang sering diidentikkan dalam konteks yang berlawanan bahkan kadang berhadapan. Yang satu tradisionalis, yang lain modern. Tentu saja penamaan tersebut juga punya implikasi, baik dalam karakteristik maupun implementasinya. Jika yang satu punya pilihan, baik dalam aspek politik maupun keyakinan, bisa dipastikan yang lain akan memilih sikap dan jalur yang berbeda. Pada satu titik tertentu, keduanya bahkan berkonfrontasi. Meski seiring dengan perkembangan kedewasaan, keduanya makin meminimalisir sikap-sikap agitatif dengan mengedepankan dialog dan kebersamaan. Walau begitu sejarah pernah menyimpan dinamika hubungan keduanya, baik dalam masa ‘panas’ maupun saat ‘dingin’.

Dibalik itu semua, siapa sangka bahwa keduanya pernah punya sisi romantisme yang tidak banyak diketahui, baik oleh Muhammadiyah maupun NU sendiri, secara personal sebagai warga, maupun selaku institusi. Sebuah hubungan yang sangat manusiawi diantara dua pendiri organisasi besar ini, KH Wahab Chasbullah dan KH Ahmad Dahlan.

Hubungan itu terbentuk melalui tali perkawinan antara Abdurrochim, adik KH Wahab Chasbullah dan Nyi Mas Siti Wardliyah, yang terhitung masih keponakan KH Ahmad Dahlan. Nyi Mas Wardliyah berasal dari Kauman Yogyakarta dan masih punya pertalian dengan keraton Yogyakarta. Ayah Nyi Mas , KH Ma’lum adalah penghulu keraton Yogya. Penghulu adalah istilah untuk pemuka agama keraton sekaligus Imam masjid jami Keraton Yogyakarta.

Pertalian ini sebenarnya lebih menandai persahabatan yang erat antara KH Wahab dan KH Ahmad Dahlan . Mereka berdua adalah murid dari Syeh Bakir (berasal dari Yogya) semasa mereka berdua masih menuntut ilmu di Makkah. Syeh Bakir adalah ulama yang berasal dari Yogya dan tinggal serta bermukim di Makkah. Beliau masih ada hubungan saudara dengan KH Ahmad Dahlan. KH Wahab dan KH Dahlan adalah murid kesayangan beliau. Melalui Syeh Bakir inilah keduanya lantas dipertalikan dalam persaudaraan melalui pernikahan KH Abdurrochim, adik KH Wahab dan Nyi Mas Wardliyah, keponakan KH Ahmad Dahlan.

Persahabatan keduanya terus berlanjut bahkan setelah KH Ahmad Dahlan lebih dulu pulang ke Indonesia dan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta pada 18 November 1912. Dalam suatu kesempatan, saat KH Wahab pulang ke Indonesia, KH A Dahlan datang sendiri ke pelabuhan Surabaya untuk menjemput KH Wahab, sahabatnya yang baru tiba dari Makkah. Demikianlah sejarah menunjukkan, tak ada permusuhan di antara 2 pendiri organisasi terbesar di Indonesia ini.

Pada usia 30 tahun, Abdurrochimmenikahi Nyi Mas Wardliyah yang baru berusia 14 tahun. Walau masih muda, Nyi Mas adalah murid yang cerdas dari Nyai Hj Zainab, tokoh pendidik kaum perempuan di Kauman Yogyakarta. Nyai Zainab sendiri pernah mengenyam ilmu di Makkah saat mengikuti suaminya. Gairah keilmuan Nyai Zainab yang masih kerabat nyi Mas Wardliyah bahkan bisa menjadi segmen cerita tersendiri yang tak kalah menarik untuk dikisahkan. Seperti bagaimana dia ikut pengajian sembunyi-sembunyi di Makkah saat suaminya sedang belajar di tempat yang didominasi kaum laki-laki itu. Hingga saat ini, setumpukkitab-kitab peninggalannya masih tersisa di rumahnya di Kauman.

Setelah pernikahannya dengan putri Yogya ini, KH Abdurrochim jadi sering pergi ke Yogya dan memperluas cakrawalanya melalui pergaulannya dengan komunitas Muhammadiyah di Yogya. Apa yang dilihat di Yogya kemudian dikembangkan di Jombang. Termasuk mendirikan organisasi Muhammadiyah. (seperti diceritakan KH Mukhid, tokoh Muhammadiyah di Jombang kepada Umdatul Khoirot, cucu KH Abdurrochim)

Hal itu beliau lakukan sebelum kelahiran Nahdlatul Ulama yang dirintis oleh KH Wahab Chasbullah. Setelah NU berdiri di Surabaya tahun 31 Januari 1926, KH Wahab memanggil KH Abdurrochim dan memerintahkannya untuk pindah kantor dari Selatan (Muhammadiyah) ke Utara (NU) yang terletak di dusun Bulak Mojokrapak Tembelang.

“..Abdurrochim itu, Halim ( Arab : santun), Aris (jawa : sabar), dan tidak pernah menyangkal apapun dawuh KH Wahab..” demikian pernah dikisahkan Nyai Hj Sa’diyah Wahab kepada Umdatul Khoirot tentang pribadi KH Abdurrochim. Apapun yg diperintahkan KH Wahab, dijalankan oleh beliau. Termasuk keharusan untuk mendirikan kantor cabang NU yang pertama di daerah Bulak Mojokrapak, tepatnya di masjid Ngrawan. Beliau menjabat sebagai Ketuanya. Konon, inilah cabang yang pertama didirikan setelah NU resmi berdiri.

Sejak saat itu KH Abdurrochim mengurusi NU.Tiap pagi beliau ngantor mengenakan baju putih, sarungan, memakai teklek ( terompah kayu) dengan berjalan kaki dari Tambakberas ke Ngrawan, yang jauhnya sekitar 2 km.

Berdasarkan pengalaman sewaktu di Yogya, beliau turut membidani model pendidikan yang berbentuk klasikal yang disebut Sifir. Prakarsa itu dari KH Wahab dan dilaksanakan oleh KH Abdurrochim dibantu istrinya, Nyi Mas Wardliyah yang mengajar kelas putri. Diantara beberapa muridnya adalah Hj.Rochiyah, Hj. Masyhuda (PP Salafiyah Brangkulon) dan Bu Machwijah Salim (Bulak Mojokrapak). Ini adalah cikal bakal sekolah putri yang kelak menjadi Madrasah Ibtidaiyyah.

Pada saat KH Wahab larut dalam perjuangan NU dan aktivitas nasional, KH Abdurrochim dan kakaknya, KH Abdul Hamid, senantiasa membantu beliau mengurusi pondok. KH Abdurrochim mengurusi madrasah dan KH Hamid konsen merawat pondok dan masjid. Mereka berdua saling melengkapi dan bahu membahu, dibantu asatidz dan keponakanya yang masih muda, Abdul Fattah, meringankan tugas KH Wahab yang sudah menjadi milik umat.

Seperti dikisahkan oleh Nyai Sa’diyah Wahab, tak jarang KH Abdurrochim diperintah KH Wahab untuk menyiapkan berkas-berkas dan kitab-kitab yang dibutuhkan pada saat Bahtsul Masa’il, maupun diskusi, diantara dinamika kegiatan KH Wahab dalam organisasi.

KH Abdurrochim wafat pada usia yang relatif muda, usia 43 tahun pada tahun 1942. Beliau meninggalkan putera puteri yang masih kecil. Si sulung, Ahmad Alfatih AR masih berusia 13 tahun saat ayahnya meninggal. KH Fattah Hasyim kemudian dipanggil KH Wahab untuk meneruskan estafet, membantu KH Wahab dan KH Hamid mengendalikan dinamika madrasah. Kelak sejarah akan berulang saat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan jabatannya sebagai Kepala Muallimin Muallimat untuk pergi ke Jakarta. KH Fattah Hasyim menjemput sendiri Ahmad Alfatih yang saat itu masih belum selesai belajar di Yogyakarta, untuk pulang membantu beliau mengurus madrasah Muallimin Muallimat yang sempat vakum.

Alfatih yang saat itu sedang kuliah dan aktif dalam organisasi IPNU yang didirikannya di Yogya bersama KH Tolchah Mansoer (cucu menantu KH Wahab) dkk, menuruti dawuh KH Fattah Hasyim untuk pulang dan mengubur mimpinya melanjutkan kuliah dan membantu beliau mengurus Muallimin Muallimat.

Demikianlah sejarah Bahrul ‘Ulum dibentuk, diantara ikatan persaudaraan yang kuat dan saling membantu satu dengan yang lain, sehingga dalam kurun waktu sekian lama, tetap berdiri tegak sebagai Lautan Ilmu.

Jombang, 2 April 2015

Ditulis oleh Ninid Alfatih berdasarkan wawancara dari berbagai sumber. Tulisan ini semula merupakan artikel permintaan kru Majalah Kharisma MMA, namun sudah diedit ulang.

Anggap saja ini bagian dari pernik-pernik NU menjelang perhelatan besar, muktamar ke 33 NU di Jombang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun