"Pernah kebayang nggak, menabung emas bisa dimulai cuma dengan Rp10.000,00 lewat ponsel?" Awalnya saya juga sempat tidak percaya. Selama ini, emas identik dengan perhiasan mahal atau investasi orang kaya. Tapi ternyata, lewat aplikasi digital Pegadaian, investasi emas jadi sesuatu yang bisa diakses siapa saja mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, sampai pedagang kecil di pasar.
Dari "Tempat Gadai" Jadi Motor Inklusi Keuangan
Kalau dengar kata Pegadaian, bayangan banyak orang pasti sama: tempat menggadaikan barang ketika butuh dana darurat. Tidak salah, sih, tapi sekarang wajah Pegadaian sudah berubah total. Buktinya? Data resmi Pegadaian mencatat pengguna aplikasi Pegadaian Digital sudah lebih dari 6,5 juta orang pada akhir 2023, dengan nilai transaksi tembus Rp14,5 triliun. Angka segede itu jelas menunjukkan Pegadaian bukan lagi sekadar tempat gadai, tapi juga motor penggerak inklusi keuangan rakyat.
Tabungan Emas: Bukti Nyata Melawan Inflasi
Salah satu fitur paling populer adalah Tabungan Emas Digital. Bayangkan saja, dengan Rp10.000,00 kita sudah bisa mulai punya saldo emas. Ada juga cicil emas, gadai online, sampai layanan syariah. Semuanya bisa diakses lewat satu aplikasi di genggaman. Saya pikir aplikasinya ribet, ternyata mudah banget.
Kisah Nyata: Emas sebagai Pelindung Nilai Uang
Saya sendiri sudah membuktikannya. Dulu sebelum menikah, tepatnya tahun 2021, saya sempat membeli emas 5 gram dengan harga sekitar Rp4 jutaan saja. Waktu itu saya anggap hanya simpanan kecil. Tidak disangka, beberapa tahun kemudian harga emas melonjak tajam.Â
Dari situ saya sadar betul: emas bukan sekadar perhiasan, tapi instrumen investasi yang nyata melindungi nilai uang dari inflasi. Pengalaman pribadi ini bikin saya makin yakin bahwa misi Pegadaian untuk "MengEMASkan Indonesia" bukan jargon belaka. Emas kini bukan lagi eksklusif untuk segelintir orang, tapi tabungan masa depan yang bisa diraih siapa pun.
Dampak Sosial dan Kehadiran Negara
Transformasi ini juga punya dampak sosial yang luar biasa. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 mencatat, inklusi keuangan Indonesia sudah 85,10%, tetapi literasi (pemahaman) baru 49,68%. Artinya, banyak orang sudah punya akses ke layanan keuangan, tapi belum tahu cara memanfaatkannya dengan benar.