Perkawinan merupakan institusi penting dalam kehidupan manusia yang mengikat dua orang dan menjadi dasar pembentukan keluarga dan tatanan masyarakat. Dalam Islam, perkawinan dianggap sebagai ibadah sekaligus perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalizah) dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Di samping itu, dalam kerangka negara hukum seperti Indonesia, perkawinan juga menjadi objek hukum positif yang melibatkan prinsip-prinsip konstitusional yang mengacu pada kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Namun, dalam masyarakat Indonesia yang majemuk secara agama, sering kali muncul persoalan atau permasalahan ketika dua orang yang berbeda keyakinan ingin melangsungkan pernikahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting dan kompleks “Bagaimana pandangan Hukum Islam dalam perkawinan beda agama? Apakah hukum positif di Indonesia (Konstitusi), seperti Undang-undang Perkawinan serta Pasal 29 UUD 1945, memberikan ruang bagi praktik ini? Dan, Bagaimana seharusnya negara menyikapi ketegangan antara larangan normatif dalam agama dan jaminan hak konstitusional?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mempertimbangkan bagaimana sistem hukum Islam dan sistem hukum nasional Indonesia melihat institusi perkawinan, termasuk sumber hukum dan penegakan praktiknya.
Pengertian Perkawinan
Secara umum, dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara dalam hukum Islam, perkawinan tidak hanya bernilai sosial, tetapi juga bernilai ibadah. Di mana perkawinan dipandang sebagai salah satu cara syariat untuk menjaga stabilitas sosial, keturunan (hifz al-nasl), dan kehormatan (hifz al-‘ird).
Sumber Hukum Perkawinan dalam Islam dan Hukum Nasional Indonesia
Dalam perspektif hukum Islam, perkawinan merupakan institusi yang memiliki kedudukan penting baik secara spiritual atau sosial. Pengaturannya berasal dari Al-Qur'an, yang berfungsi sebagai pedoman utama bagi umat Islam, dan mencakup aturan dasar tentang tujuan, syarat, dan larangan perkawinan. Salah satu ayat yang sering dirujuk adalah QS. Al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَل تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْن
Artinya: Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran (QS Al-Baqarah: 221).
Surat Al-Baqarah ayat 221 ini melarang umat Islam menikahi orang musyrik hingga mereka beriman. Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa Allah mengharamkan bagi orang mukmin menikah dengan orang musyrik yang menyembah berhala. Kemudian ayat ini menggeneralisir haramnya menikah dengan orang musyrik dari Kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) dan Watsaniyah.
Hadis Nabi Muhammad SAW juga menjadi landasan penting karena dapat menjelaskan dan merinci ajaran-ajaran Al-Qur’an termasuk tentang hukum perkawinan. Hukum Islam juga mengenal ijma', atau konsensus ulama yang terbentuk dari musyawarah tentang masalah hukum tertentu, dan qiyas, atau teknik penalaran analogis yang digunakan untuk menetapkan hukum atas suatu masalah dengan membandingkannya dengan kasus serupa yang telah memiliki ketentuan hukum.
Sementara itu, pengaturan tentang sah atau tidaknya perkawinan dalam hukum Indonesia sangat bergantung pada kesesuaian dengan hukum agama masing-masing. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Ketentuan ini menunjukkan bahwa legalitas perkawinan tidak hanya bergantung pada pengakuan negara tetapi juga harus sesuai dengan norma agama yang dianut oleh kedua pihak. Pasal ini kemudian diperkuat dengan Pasal 8 huruf f yang secara eksplisit melarang perkawinan yang tidak diizinkan oleh agamanya. Di sisi lain, UUD 1945 sebagai hukum dasar negara menjamin hak-hak konstitusional warga negara dalam kehidupan pribadi dan sosial. Pasal 28B ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Sementara Pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam konteks ini, muncul ketegangan antara jaminan kebebasan pribadi untuk menikah dengan siapa pun, dan larangan agama yang menjadi dasar sahnya perkawinan menurut UU Perkawinan. Beberapa pasangan kemudian memanfaatkan ketegangan ini untuk pergi ke administrasi atau pengadilan, yang pada akhirnya menghasilkan masalah baru dalam sistem hukum negara.
Meskipun demikian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) telah digunakan dalam praktiknya untuk memanfaatkan celah hukum. Pasal 35 huruf a UU Administrasi menyatakan bahwa penetapan pengadilan dapat digunakan untuk mencatat perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah. Celah ini sempat digunakan oleh pasangan beda agama untuk memperoleh pengesahan administratif melalui jalur pengadilan. Namun, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 mempertegas kembali posisi hukum dengan menginstruksikan kepada hakim untuk menolak permohonan pencatatan perkawinan beda agama.