Ketika bel pulang berbunyi aku segera menuju parkiran motorku. Aku tak menghiraukan ajakan Doni untuk berlatih basket.
    "Jun, ayo kita berlatih. Minggu depan ada turnamen!" teriak Doni dari ruang OSIS.
    "Maaf! Aku tidak bisa. Aku izin dulu. Sampaikan ke pak Ajay ya," jawabku sambil melambaikan tangan dan meninggalkan Doni yang menatapku bingung.
    Biasanya aku yang paling bersemangat untuk mengajak anak-anak berlatih. Apalagi tim sekolah kami akan mengikuti kompetisi minggu depan. Se bagai orang yang dipercaya sebagai kapten tim, aku harus bisa memberikan semangat buat anggota tim. Tapi aku harus mangkir dulu hari ini. Demi Andin, aku harus merelakan semuanya.
                                                                      ****
    Matahari tak bersahabat hari ini. Sinarnya memanggang tubuhku yang sedang munuju rumah Andin. Meski harus berpanas ria di atas motor, aku rela agar pertanyaan -pertanyaan itu segera terjawab.
   Jalan menuju rumah Andin agak macet karena ada perbaikan jalan. Kendaraan harus bergantian arahnya dan harus satu-satu. Untung aku mengenadarai motor sehingga bisa selap selip ke jalan tikus.
   "Ah...ada-ada saja halangannya," keluhku dalam hati.
Akhirnya aku tiba di rumah Andin. Rumah itu tampak sepi. Hanya ada mobil putih yang biasa dipakai mama Andin terparkir di samping rumah. Aku memencet bel yang terletak di samping gerbang. Aku melihat mbok Yem, asisten rumah tangga rumah ini membuka pintu depan. Dia mendekatiku yang sedang berdiri di depan gerbang.
   "Oh...mas Arjuna. Monggo mas masuk. Mau nyari mbak Andin, ya?" tanya mbok Yem sambal membuka pintu gerbang. Aku segera masuk dan memarkirkan motorku di samping rumah. Kemudian aku duduk di teras rumah untuk mendinginkan tubuhku.
   "Andinnya ada Mbok?" tanyaku pada mbok Yem yang sudah berdiri di hadapanku. Aku memang sudah dekat dengan keluarga ini termasuk kepada mbok Yem,