Mohon tunggu...
Ninaa hasnaa
Ninaa hasnaa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menggambar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perang Suku di Wamena, Papua

4 Januari 2025   10:30 Diperbarui: 4 Januari 2025   09:28 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto perang suku di Wamena, Papua. Sumber gambar tribun.com)

Leny Marlina ( MAHASISWA PERBANKAN SYARIAH KELAS B, INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE )

Perang suku di Wamena, Papua, merupakan salah satu bentuk konflik tradisional yang masih terjadi di wilayah tersebut. Biasanya, perang ini dipicu oleh gangguan antar kelompok suku, seperti perebutan wilayah, pelanggaran adat, atau balas dendam. Meskipun tampak keras, suku perang memiliki aturan adat yang mengatur konflik, termasuk batasan senjata yang digunakan dan durasi perang. Namun dampaknya sering kali meluas, menyebabkan kerugian besar baik pada bentuk korban jiwa, harta benda, maupun trauma bagi masyarakat setempat. Pemerintah dan tokoh adat berupaya keras untuk menyelesaikan konflik ini melalui pendekatan dialog, penyuluhan adat, dan mediasi damai, meskipun tantangan yang dihadapi sangat kompleks karena menyangkut budaya, tradisi, dan dinami.

Salah satu penyebab utama terjadinya perang suku di Wamena adalah persaingan antar kelompok yang sudah berlangsung lama. Suku-suku di Papua, seperti suku Dani, Lani, dan Yani, memiliki tradisi dan cara hidup yang sangat kental dengan unsur kebudayaan dan adat, ketegangan sering kali muncul akibat perbedaan cara hidup, perebutan wilayah, atau percekcokan antar individu kemudian menjadi konflik antar kelompok.

Perang suku di Wamena bukanlah hal baru. Beberapa tahun terakhir, daerah ini memang sering diguncang oleh konflik antar suku yang menelan korban jiwa dan merusak infrastruktur. Meski demikian, penyelesaian damai juga kadang ditemukan lewat musyawarah antar pihak yang terlibat. Namun kecenderungan untuk mengunakan cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah yang muncul menunjukkan bahwa masih banyak tantangan dalam membangun kedamaian jangka panjang di sana.

Perang suku tidak bisa dilepaskan dari rendahnya tingkat pendidikan di Wamena. Pendidikan yang kurang merata dan terbatas di daerah pedalaman menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai perdamaian, hak asasi manusia, dan cara-cara penyelesaian sengketa yang damai. 

Secara hukum, Indonesia memiliki sejumlah peraturan yang mengatur soal perdamaian antar masyarakat, seperti Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang penanggulangan konflik sosial, yang bertujuan untuk mencegah dan menyelesaikan konflik antar kelompok. Namun, penerapan undang-undang ini di daerah seperti Wamena seringkali terhambat oleh kondisi geografis, keterbatasan sumber daya manusia, dan kendala budaya lokal. Pada kenyataannya, dalam masyarakat adat Papua, sering kali hukum adat yang berlaku lebih kuat daripada hukum negara. Konflik antar suku sering kali diselesaikan berdasarkan hukum adat, yang kadang mengarah pada penggunaan cara-cara kekerasan, sehingga negara perlu lebih aktif dalam mengimplementasikan Undang-Undang yang ada.

Dampak dari perang suku jelas sangat merugikan. Secara langsung, korban jiwa dan luka-luka sering menjadi akibat utama, selain kerusakan harta benda dan fasilitas umum. Secara jangka panjang, perang suku menghambat pembangunan, menciptakan ketakutan, dan memperburuk ketegangan sosial antar kelompok. Dalam konteks ekonomi, konflik antar suku ini mengganggu aktivitas ekonomi lokal, seperti perdagangan dan pertanian. Karena infrastruktur yang rusak dan ketidakamanan yang ditimbulkan. 

Konflik yang tidak ditangani dengan baik berpotensi berkembang menjadi bola salju. Perselisihan yang tidak selesai dapat menimbulkan rasa dendam yang terus menyala dan akhirnya memicu lebih banyak kekerasan. Ketegangan yang ada bukan hanya berdampak pada suku yang terlibat, tetapi juga dapat meluas ke suku lain atau bahkan ke wilayah yang lebih luas, memperburuk ketidakstabilan sosial di Papua.

Tokoh masyarakat dan ulama di Wamena harus mengambil peran sebagai penghubung dalam menyelesaikan perselisihan antar suku dengan mengedepankan pendekatan damai dan dialog. Mereka perlu memberikan contoh teladan dan menyebarkan pesan perdamaian kepada masyarakat. Pemerintah juga memiliki peran yang penting, baik melalui penegakan hukum yang tegas maupun dalam menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang merata. Penyelesaian konflik sosial harus dilakukan secara holistik dengan menggabungkan solusi pendekatan hukum, sosial, dan budaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun