Sejak beberapa tahun lalu, Kompasiana menjadi laman prioritas yang hampir tiap hari saya kunjungi. Dari pembaca setia, lama-lama tergoda menjadi pemain dalam panggung blogger ternama di Indonesia, Kompasiana.Com.
Jujur, menulis adalah hobi lama yang juga  telah  lamaaaa  saya tinggalkan.  Kesibukan keluarga dan urusan pekerjaan, membuat tak cukup waktu untuk kembali menekuni nya. Sesekali ketika melihat - mendengar sebuah kisah / peristiwa, sebenarnya 'lonceng' di kepala ini masih berbunyi:  "ting"   semacam sinyal :  hey... ini bahan bagus banget jika ditulis.  Â
Tetapi, mungkin karena lama tidak dipakai, tidak diasah, otak terasa tumpul tak mampu mengupas, mengiris, memotong, dan mengolah data fakta untuk diramu menjadi sajian tulisan.  Dari sisi mental, lama tak  bertanding (menghasilkan karya) ternyata juga berdampak pada turunnya rasa percaya diri.
Akhirnya, panggilan hati semakin sulit dibendung. Dan memutuskan bergabung di Kompasiana sekitar satu setengah tahun lalu. Itu pun tidak terlalu rajin menulis. Baru sekitar  empat atau lima bulan lalu agak rutin mengirim artikel.Â
Saya benar-benar merasa menjadi murid baru yang masuk dalam sebuah kelas, dimana kegiatan belajar mengajar sudah berjalan lama.  "9thKompasiana" , tentu telah banyak pelajaran dan pengalaman di dalamnya.  Sehingga  ketika pertama kali bergabung saya lebih banyak tengok kiri kanan atau  orang Jawa menyebutnya "clingak clinguk" untuk mengenal medan, lingkungan sekitar.
Artikel saya yang kesekian, masuk kategori Highlight, disitu rasa percaya diri mulai tumbuh. Oh, ternyata saya bisa membuat tulisan yang "dianggap" layak diberi rating. Â Begitu saya simpulkan.
Naskah berikutnya mendapat label Headline, perasaan saya seperti melayang. Mungkin bagi rekan-rekan penulis senior di Kompasiana, Â itu menjadi hal biasa. Karena artikel nya sering mendapat predikat tersebut. Tetapi bagi saya itu luar biasa. Melihat artikel saya terpampang pada slide show, menu utama laman Kompasiana, wah... rasa senang, bangga, enggak bisa dibilang!!
Ndeso ya?? Ah, biarin !! Mungkin pengaruh jam terbang juga sih...
Saking senangnya, saya kabari orang rumah dan teman-teman dekat tentang berita ini. Suka cita mereka, melihat saya yang orang biasa, tinggal di daerah pula, bisa menembus media nasional, melecut semangat saya untuk nge-gas pol !!  Menulis apa saja, asalkan menarik dan tentu saja berharap ada manfaat dari goresan pena eh keyboard. Hehehe
Tanggung Jawab Memasuki Ruang Publik
Ketika semangat menulis sedang gede-gede nya, ada artikel yang membuat saya mengerem laju produktivitas menulis yang ketika itu saya target minimal dua artikel per minggu. Kalimat nya seperti ini :
"Ketika seseorang menulis di ruang publik, berarti ia sedang menyita sebagian ruang yang sejatinya bukan miliknya.
Maka, para penulis itu sesungguhnya kurang ajar.
Sedemikian pentingkah mereka, sehingga seluruh semesta perlu membaca tulisannya?"
Kalimat ini manarik saya ke dalam sebuah bilik sunyi, untuk merenung. Niat saya selama ini berbagi manfaat melalui tulisan, tetapi benarkah diterima demikian oleh para pembaca?
Atau jangan-jangan, itu  perasaan saya saja? Terlalu Ge er, terlalu Pe De. Terlalu yakin apa yang saya sajikan pasti bermanfaat,  pasti membuat orang lain senang.  Tetiba saya khawatir,  benarkah saya masuk dalam kategori manusia  kurang ajar? Yang memakai ruang publik seenaknya, yang memaksa orang membaca karya saya, padahal itu semua tak bermakna, nir manfaat alias sia-sia.
Saya meninggalkan komentar pada artikel yang dimuat Voxpop Indonesia tersebut : Â penulis harus mampu memasuki ruang publik dengan penuh tanggung jawab. Dan pendapat itu diamini oleh penulis serta Voxpop Indonesia, sebagai media blog.
Apakah kesadaran tanggung jawab itu membangkitkan kembali gairah menulis saya? Ternyata belum, Bapak Ibu....
Saya belum move on,  saya masih terkungkung dalam renungan, mencari jawaban mengapa rem ini begitu pakem hingga berat sekali melaju seperti sebelumnya?
Akirnya ketemu jawabannya dalam buku lama : Wawancara Dengan Sejarah karya Oriana Fallaci, Â wartawati senior Italia, khusus bidang politik.
Jurnalis yang mewawancari banyak tokoh besar dunia seperti Yasser Arafat, Henry Kissinger, Norodom Sihanuk serta Indira Gandhi ini menuliskan kegelisahannya : Bukan kebetulan, kalau dalam menghayati satu kejadian atau satu pertemuan penting, saya dilanda semacam kecemasan, satu ketakutan bahwa saya tidak memiliki cukup mata, cukup telinga dan cukup otak untuk melihat mendengar dan memahami karya sejarah.
Ya, ketakutan bahwa sebenarnya saya tak cukup melihat, kurang banyak mendengar dan terlalu sedikit wawasan untuk mengumpulkan bahan dan kemudian mendeliver nya dalam sebuah tulisan itulah, yang  rupanya mengerem saya, agar tidak menjadi manusia yang merampas ruang ruang publik dengan cara kurang ajar.
Lalu, Â Setelah Ini Apa ?
Saya membuka jendela ruang merenung. Ada banyak kejadian di luar sana. Hampir semua orang yang berlalu lalang sebenarnya juga melihat peristiwa demi peristiwa itu. Tetapi belum tentu mereka tergugah atau terpanggil untuk mengamati, melihat dari sisi yang lebih dalam atau meneropong dari sudut pandang yang berbeda, menarik benang merah sebab  akibatnya, dan....  kemudian menyusunnya menjadi sebuah artikel. Seperti yang saya - dan para blogger Kompasiana -  rasakan dan lakukan selama ini.
Maka ketika kesadaran itu muncul, yang terbersit kemudian adalah, oh bukankah ini  anugrah, yang tidak semua orang mendapatkan? Bukankah ada semacam sikap abai bahkan mungkin levelnya berdosa, ketika kita tidak memanfaatkan anugrah yang diberikan Tuhan, terutama untuk menebar kebaikan?
Lalu keputusannya adalah saya akan menulis (lagi). Insya Alloh dengan lebih bertanggung jawab. Yaitu dengan terus meluaskan pandangan mata, mempertajam pendengaran dan memenuhi otak dengan bekal sebanyak-banyaknya, agar tulisan yang  saya lempar ke ruang publik bisa bermanfaat, minimal tidak terlalu mengecewakan.
Terima kasih kepada Kompasiana, yang telah menjadi rumah baru bagi saya untuk kembali menekuni hobi lama.
"9thKompasiana" menjadi momentum bagi saya untuk melaju, mengerem dan kemudian menemukan masalah berikut solusi nya bagi diri saya sendiri, lalu beranjak lagi menapaki dunia tulis menulis dalam keluarga besar Kompasiana.
Sumber :
- Y. D. Anugrahbayu " Kritik dan Saran Terbuka untuk Para Penulis",  Voxpop Indonesia, Oktober 2017.
- FALLACI, Oriana 1988, Wawancara Dengan Sejarah, Â Terjemahan J. Riberu, Jakarta : Â Pustaka Sinar Harapan.
                                                           Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI