Catatan dari Pameran Seni Rupa Kontemporer "Beyond Imagination" di Jakarta Design Center
Di ruang pameran Beyond Imagination, ada sebuah lukisan besar yang langsung mencuri perhatian sejak dari kejauhan. Sebuah karya berukuran 170 x 150 cm berjudul "Mindset" karya pelukis Irwan Somantri yang akrab dipanggil Epot. Â Lukisan ini mencolok. Bukan karena warnanya yang mencolok mata, tapi karena maknanya yang mencolok pikiran.
Satu sosok tunggal memenuhi kanvas. Seorang perempuan cantik berbalut kemben tradisional. Namun alih-alih tampil sebagai citra masa lalu, ia mengenakan sesuatu yang membuat kita berpikir ulang  yaitu google, atau mungkin kacamata las, atau bahkan augmented reality headset. Dari pantulan kacamata itu, tergambar siluet kota metropolitan dengan pencakar langit yang menyentuh awan. Sebuah benturan visual yang seolah memadukan dua dunia, tradisi dan modernitas.
Namun ada yang lebih mengejutkan. Lengan sang perempuan terputus, dan terlihat kabel-kabel yang menggantung. Â Seketika saya berpikir, "Ini robot." Atau mungkin, ini kita, manusia modern yang masih menyimpan sisa-sisa tradisi, namun sudah setengah menjadi mesin. Hmmm.
Latar langit biru cerah bertabur awan membawa kontras yang unik terhadap bagian di atas kepala perempuan itu, yang dihiasi tabung-tabung dan pipa-pipa menyerupai instalasi industri. Kita seolah sedang melihat isi pikirannya: sebuah sistem produksi yang dingin, kaku, Â terstandarisasi dan terotomatisasi. Hidup yang berjalan lurus dalam alur SOP. Bangun, kerja, tidur. Ulangi. Tanpa variasi. Terasa nyeri memikirkannya.
Namun... masih ada harapan.
Jika kita melihat ke bagian bawah lukisan, tergambar lanskap kota industri. Tapi jika kita lihat lebih dekat, kelihatan pipa-pipa itu bukan dari baja, melainkan pipa dari  bambu kuning. Indikasi halus tapi kuat dari harapan akan industri yang lebih manusiawi, lebih alami dan lebih lestari.
Kebetulan saat itu, Â sang seniman sedang berada di lokasi. Saya pun berkesempatan berdialog langsung dengannya. Menurutnya, mindset seseorang terbentuk dari apa yang dikonsumsi pikirannya. Jika sumber informasi baik, maka pikirannya sehat. Jika buruk, maka pikirannya bisa menyimpang.
Dunia modern saat ini, katanya, telah menstandarisasi pikiran kita. Kita tumbuh dengan template hidup seperti ini : lahir -- sekolah -- kerja -- mati. Sederhana, seragam, dan... membosankan.
Jika pikiran kita template-nya seperti itu, tidak ada ruang untuk mengeksplorasi ide, gagasan dan fikiran kita secara utuh. Karena semua harus diseragamkan dan diautomatisasi dan  harus diikuti. Tanpa kita sadar, kita telah kehilangan identitas kita sendiri yang mungkin jauh lebih indah ketimbang identitas masal hasil dari standardisasi.