Ketika anak-anak duduk di kelas, guru sering memberitahu mereka bahwa belajar itu penting agar sukses di masa depan. Tapi, seberapa sering anak-anak benar-benar mengaitkan apa yang mereka pelajari di sekolah dengan kehidupan sehari-hari mereka? Filsafat realisme dalam pendidikan berpendapat bahwa belajar akan jauh lebih bermakna kalau ilmu pengetahuan "nyata" artinya terkait dengan pengalaman nyata, lingkungan sekitar, dan fakta objektif. Dengan pendekatan seperti ini, dunia nyata menjadi guru yang sangat efektif, bukan hanya teori yang dibaca di buku, tetapi pengalaman yang dirasakan dan diamati langsung. Artikel ini akan membahas bagaimana realisme dalam filsafat pendidikan memandang hubungan antara dunia nyata dan pembelajaran, agar pendidikan bisa lebih bermakna dengan menjadikan dunia nyata sebagai bagian dari proses belajar.
Latar Belakang
Pendidikan bukan hanya tentang menghafal teori atau membaca buku teks. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses memahami kehidupan nyata. Dalam konteks ini, filsafat realisme memberikan pandangan menarik yaitu belajar seharusnya didasarkan pada kenyataan yang objektif, bukan sekadar ide atau imajinasi. Realisme menegaskan bahwa dunia nyata adalah sumber utama pengetahuan, dan pengalaman langsung menjadi dasar pembelajaran yang bermakna.Â
Filsafat realisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran idealisme yang menekankan pikiran dan gagasan sebagai sumber utama pengetahuan. Kaum realis, seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas, berpandangan bahwa dunia luar benar-benar ada dan dapat dipelajari melalui pancaindra serta pengalaman manusia. Dalam dunia pendidikan, paham ini menuntun guru dan peserta didik untuk melihat kenyataan sebagai bahan belajar yang tak ternilai. Di era modern saat ini, ketika teknologi berkembang pesat dan informasi mudah diakses, pendekatan realisme menjadi semakin penting. Siswa tidak cukup hanya mempelajari konsep abstrak; mereka perlu mengalami, mengamati, dan mempraktikkan apa yang mereka pelajari agar benar-benar memahami maknanya.
Hakikat Aliran Realisme
Pada hakikatnya, lahirnya realisme sebagai aliran filsafat sebagai sintesis antara filsafat idealisme Immanuel Kant di satu pihak dan empirisme John Lock di pihak lain. Realisme kadang-kadang disebut sebagai neorasionalisme. "John Lock memandang bahwa tidak ada kebenaran dari metafisik dan universal". Dia percaya bahwa sesuatu bisa dikatakan benar jika didasarkan pada pengalaman indrawi, pada sifat induksi John Lock mengingkari adanya kebenaran akal (Yuliyanti, et al., 2023).
Istilah realisme berasal dari bahasa latin "realis" yang berarti "sungguh-sungguh, nyata benar". Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa terdapat satu dunia eksternal nyata yang dapat dikenali. Realisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa objek yang dapat kita rasakan dengan panca indera adalah nyata dan ada secara mandiri, terlepas dari pengetahuan atau kesadaran kita.Â
Adapun pokok pemikiran realisme adalah sebagai berikut (Hariyasasti, Y., et al., 2025).
- Pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Hal ini tidak diubahnya seperti sebuah gambar hasil lensa kamera yang merupakan representasi dari gambar aslinya.
- Suatu teori dianggap benar bila memang riil, secara substantif ada, memang benar, dan bukan menyajikan fiksi.
- Konsep filsfat menurut realisme adalah metafisika-realisme, humanologi-realisme, epistemologi-realisme, dan aksiologi-realisme.Â
- Hakikat realitas terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani.
- Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran sebab pendidikan mengembangkan semua kemampuan manusia
Realisme dalam Pembelajaran IPAÂ
Dalam bidang pendidikan, implikasi filsafat realisme terlihat pada penekanan pembelajaran berbasis pengalaman langsung, observasi, dan penguasaan keterampilan yang sesuai dengan dunia nyata. Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik memahami hukum-hukum alam dan prinsip kehidupan berdasarkan fakta objektif. Dalam kehidupan sehari-hari, realisme mendorong manusia untuk bersikap rasional, kritis, dan berorientasi pada kenyataan, sehingga mampu mengambil keputusan berdasarkan bukti dan logika, bukan sekadar perasaan atau opini.
Dalam konteks pembelajaran IPA, prinsip realisme tercermin pada kegiatan observasi, eksperimen, dan eksplorasi fenomena alam. Guru tidak sekadar menyampaikan teori, tetapi juga mengajak siswa melihat dan menyentuh langsung objek yang dipelajari. Hal ini membuat pembelajaran menjadi konkret dan bermakna. Pembelajaran IPA tidak hanya mempelajari teori, melainkan kita akan mempelajari dunia nyata sebagai sumber belajar utama. Sains tidak bisa dipelajari hanya dari buku saja, melainkan dari pengamatan terhadap kejadian alam seperti hukan, fotosintesis, gaya, gerak, dan yang lainnya. Pembelajaran berbasis fakta dan bukti juga memberikan dukungan bahwa pembelajaran IPA harus berdasarkan kenyataan. Siswa diajak berpikir ilmiah dengan melakukan eksperimen dengan menguji hipotesis. Keterpaduan antara teori dan praktik sangat terukur dalam pembelajaran IPA. Setiap konsep IPA dilaksanakan dengan kegiatan yang menunjukkan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran IPA juga disesuaikan dengan lingkungan sekitar kita (kontekstualitas), misalnya dalam mengamati ekosistem kolam, ekosistem darat, interaksi makhluk hidup, dan sebagainya.Â