Mohon tunggu...
Niluh Amelia Firnanda
Niluh Amelia Firnanda Mohon Tunggu... Mahasiswi S2 Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Saya adalah seorang guru yang gemar menulis dan berwirausaha. Mengajar bagi saya bukan hanya pekerjaan, melainkan panggilan hati untuk menanamkan nilai dan semangat pada generasi muda. Di luar kelas, saya menikmati menulis cerita, artikel, dan refleksi hidup, karena dari tulisanlah saya belajar mengenal diri. Dunia usaha pun menjadi tempat saya melatih ketekunan, mengasah ide, dan belajar dari setiap kegagalan. Tiga hal ini mengajar, menulis, dan berusaha adalah cara saya untuk terus tumbuh dan memberi arti.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nyawa yang Hilang di Tengah Tawa

20 Oktober 2025   22:02 Diperbarui: 20 Oktober 2025   22:02 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tawa seharusnya membawa bahagia, bukan duka. Namun kini, banyak tawa justru lahir dari ejekan dan penghinaan. Di sekolah, kampus, di dunia maya, bahkan di lingkar pertemanan, candaan sering melampaui batas tanpa disadari. Di balik tawa itu, ada hati yang terluka, ada jiwa yang pelan-pelan kehilangan semangat hidup. Inilah potret nyata ketika empati memudar saat seseorang kehilangan nyawanya, dan dunia baru sadar bahwa tawa itu seharusnya tidak pernah ada.

Tawa seharusnya menjadi tanda kebahagiaan. Namun kini, di banyak kasus perundungan, tawa justru menjadi saksi bisu dari hilangnya empati manusia. Apa yang dianggap lucu bagi sebagian orang, bisa menjadi luka yang tak tersembuhkan bagi orang lain. Di sekolah, di media sosial, bahkan di lingkungan sekitar, candaan sering kali berubah menjadi senjata yang mematikan.

Perundungan tidak selalu dimulai dengan kebencian. Kadang, ia berawal dari ejekan kecil yang diulang terus-menerus, dari video yang direkam diam-diam, atau dari komentar yang dianggap sepele. Korban mungkin diam, menahan rasa sakitnya sendiri, hingga pada akhirnya kehilangan keinginan untuk bertahan hidup. Saat itu terjadi, tawa yang dulu terdengar riang berubah menjadi gema penyesalan yang tak ada gunanya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa empati perlahan memudar dalam kehidupan sosial kita. Orang-orang lebih mudah menilai daripada memahami, lebih cepat menertawakan daripada menolong. Dunia digital memperparah keadaan setiap orang bisa menjadi penonton, bahkan pelaku, dengan hanya satu komentar yang kejam. Kita sering lupa bahwa di balik layar, ada manusia dengan hati yang bisa hancur karena kata-kata.

Hilangnya empati bukan hanya masalah moral, tetapi juga tanda krisis kemanusiaan. Ketika seseorang bisa menertawakan penderitaan orang lain tanpa rasa bersalah, berarti ada yang rusak dalam cara kita melihat sesama. Pendidikan seharusnya tidak hanya menekankan kecerdasan, tetapi juga menumbuhkan rasa peduli, menghargai, dan memahami perasaan orang lain.

Sudah saatnya kita belajar kembali untuk menahan diri sebelum berbicara, berpikir sebelum menulis, dan mendengar sebelum menilai. Karena satu kalimat bisa menyelamatkan, tetapi juga bisa mengakhiri hidup seseorang. Jangan biarkan ada lagi nyawa yang hilang di tengah tawa,hanya karena kita lupa bagaimana rasanya menjadi manusia yang berempati.

Tawa tidak selalu pertanda bahagia. Kadang, di baliknya ada seseorang yang sedang menahan luka yang tak sanggup lagi ia ceritakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun