Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tragedi Kanjuruhan: Cerminan Pola Pikir Bangsa?

4 Oktober 2022   09:48 Diperbarui: 4 Oktober 2022   10:19 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: promediateknologi.com

Internet meledak dengan pemberitaan mengenai tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 123 jiwa, termasuk dua orang anggota kepolisian, dan 323 orang terluka (update 3 Oktober, 2022. Sumber). 

Pertandingan sepakbola antara Persebaya Surabaya versus Arema FC Malang pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2022 itu berakhir dengan sebuah kerusuhan. Media online, elektronik dan cetak tidak putus-putusnya memberitakan kisah memilukan sekaligus memalukan yang terjadi di ranah olahraga dan mencoreng nama citra sepakbola Indonesia kembali.

Di tulisan saya kali ini, saya lebih akan mencoba melihat sisi berbeda dari kejadian nahas, tragedi kemanusiaan tersebut. Tanpa mengurangi rasa bela sungkawa, sedih dan prihatin, saya melihat ada semacam cerminan pola pikir bangsa yang muncul ke permukaan di sela-sela keriuhan berita.

Sebelum memulai lebih jauh, rasa-rasanya perlu menjelaskan dahulu sebentar apa yang dimaksud dengan bangsa. Ini karena kata bangsa akan terus digunakan berulang-ulang dalam artikel ini. 

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan bangsa adalah kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa serta sejarahnya, dan memiliki pemerintahan sendiri. 

Selain itu, sebuah bangsa juga berisi dari sekumpulan orang yang memiliki kesamaan sifat dan karakter karena persamaan nasib serta sejarah di masa lampau (Sumber). 

Dalam hal ini, bangsa Indonesia terdiri dari orang-orang dan warga masyarakat yang memiliki persamaan pola pikir karena percaya dengan nilai-nilai tertentu yang membentuk mereka di dalam sebuah negara. Berarti, menyebut bangsa Indonesia berarti termasuk pemerintah dan aparaturnya, badan-badan hukum lainnya, serta termasuk masyarakat di dalamnya.

Perdebatan dan argumen yang berseliweran di dunia maya berpusat pada mencari tahu siapa yang salah dan menjadi akar permasalahan insiden tersebut. Penggunaan kekerasan yang berlebihan, termasuk gas air mata, dari aparat kepolisian dituding menjadi pemicu meninggalnya banyak penonton yang berdesak-desakan ingin keluar dari tribun sedangkan pintu stadion juga tertutup. 

Ada yang berpendapat bahwa semua tidak akan terjadi bila para suporter sepakbola, terutama Aremania, tidak turun ke lapangan untuk memprotes hasil pertandinggan, mengejar para pemain Persebaya, dan meluapkan kekesalan mereka.

Perdebatan ini terus-menerus terjadi, berputar bagai lingkaran setan. Polisi dianggap melanggar hukum dan aturan yang diberikan oleh FIFA karena menggunakan gas air mata serta Hak Asasi Manusia karena bekerja tidak profesional dan sesuai SOP Kepolisian. Di sisi lain, suporter juga dianggap melanggar aturan FIFA karena masuk ke dalam lapangan.

Yang menarik perhatian saya adalah bahwa di dalam perdebatan ini, tidak ada pihak manapun yang mau disalahkan, atau paling tidak mengaku bahwa kesalahan juga ada di pihak mereka. 

Saya sadar bahwa setiap kesalahan yang memang ada di dalam insiden ini, wajib untuk ditindak. Pelanggaran hukum wajib untuk diberikan ganjaran yang setimpal. 

Entah itu dalam pelaksanaan tugas kepolisian, pelaksaan acara oleh panitia, atau yang lainnya. Namun, menerima sebuah keselahan dan mengakuinya adalah sesuatu yang terlalu asing bagi bangsa ini. Kita tahu, terlalu banyak aspek yang menuntun pada tragedi Kanjuruhan dan banyak pihak juga menyumbang kesalahan.

Bangsa ini memiliki kecenderungan untuk menormanisasi kesalahan yang lebih kecil untuk ditutupi dengan kesalahan yang lebih besar. Seseorang yang sedang merokok di area Rumah Sakit ketika ditegur akan langsung bersifat defensif dengan mengatakan bahwa tindakannya ini tidak sebanding dengan tindakan jahat para koruptor yang mencuri uang negara dalam jumlah yang luar biasa besar dan merugikan banyak pihak. 

Kesalahan akan terus digulirkan kesana kemari. Dari menyalahkan pemerintah, aparatur negara, lingkungan sampai kondisi dan bukannya mengakui kesalahan diri sendiri sepertinya menjadi sebuah pola pikir bangsa.

Itu sebabnya bangsa kita selalu terjebak pada permasalahan kucing-kucingan siapa yang salah. Akar permasalahan tidak lagi menjadi yang utama, yang penting adalah mencari siapa yang paling salah.

Saya ingat di tahun 2000-an awal. Saat itu saya sendang menonton konser akbar band rock raksasa di jamannya, yaitu Jamrud dan Boomerang, di Stadion Kridosono, Yogyakarta. 

Saya dan ratusan orang lain di luar stadion saat itu tidak membeli tiket. Kami semua berteriak keras "Rakyat bersatu tak bisa dikalahlah!" sambil berusaha mendobrak pintu. Tak lama polisi memberikan tembakan peringatan ke udara. Para calon penonton tak bertiket berhamburan berlari menjauh. Beberapa diantara kami berteriak-teriak menyumpahi aparat dengan mengatakan bahwa mereka mengancam rakyatnya sendiri.

Mungkin sudah saatnya bagi bangsa ini untuk berani melihat pada diri sendiri dan mengakui kesalahan yang dilakukan dan bukannya mencari pembenaran serta menyalahkan pihak lain. 

Kesalahan adalah kesalahan, pelanggaran adalah pelanggaran meski berbeda takaran besar dan kecilnya. Namun, kesalahan kecil dan sederhana ketika dinormalisasi dan diterima secara permisif, maka kesalahan-kesalahan kecil akan menyuburkan kesalahan-kesalahan besar.

Sekali lagi, saya berbela sungkawa atas tragedi kemanusiaan yang memedihkan ini. Tiada mengurangi rasa hormat dan prihatin pada korban. Tulisan ini ditujukan bagi kita semua agar berani melihat kesalahan yang kita sumbangkan untuk tidak melakukannya lagi sehingga kejadian serupa juga tidak akan terulang. 

Tidak hanya khusus merujuk pada tragedi Kanjuruhan, tetapi lebih pada semua masalah kebangsaan seperti penegakan hukum dan korupsi, hak asasi manusia, sampai pendidikan dan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun